Proses perjalanan
kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu membawa
pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang
dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan.
Kelahiran membawa
akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya
hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat dan masyarakat
lingkungannya.
Demikian jugadengan
kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga,
masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu kematian tersebut menimbulkan
kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan dengan pengurusan
jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara otomatis,
yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli
waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.
Adanya kematian
seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut
bagaimanacara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang dikenal
dengan nama Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal
dengan nama Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh.
Dalam hukum waris
tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa-siapa yang
berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian mereka
masing-masing bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula berbagai hal
yang berhubungan dengan soal pembagian harta warisan.
Namun dalam makalah
ini kami hanya menjelaskan pengertian, dasar hukum, pewaris, dan ketentuan kewarisan.
A. Pengertian
Kewarisan
Waris adalah
mashdar ( ورث ا) يرثارثاوميزاثاyang artinya si Fulan mewariskan
kepada kerabatnya, dan mewariskan kepada ayah-ayahnya.[1]
Secara etimologis
Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (موارث),
yang merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa –yarisu – irsan –
mirasan. Yang maknanya menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Sedangkan makna
mawaris menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup,
baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang
berupa hak milik yang legal secara syar’i. Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris
dalam hukum Islam adalah pemindahan hak milik dari seseorang yang telah
meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai dengan ketentuan dalam
al-Qur’an dan al-Hadits.
Sedangkan istilah
Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari siapa-siapa ahli waris
yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta
bagian-bagian tertentu yang diterimanya.
Menurut Wirjono
Prodjodikoro mendefinisikan warisan sebagai berikut adalah soal apakah
dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang
masih hidup. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW. yang berbunyi;
ان الله
قداعطى كل ذي حق حقهه فلا وصية لوارث (رواه اْ حمدواْ بوداودوالترمذى وابن ما جه)
Sesungguhnnya Allah
SWT. telah memberi kepada orang yang berhak atasa haknya. Ketahuilah! Tidak ada
wasiat kepada ahli waris. (H.R. Ahmad,
Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah) [2]
Fiqih Mawaris juga
disebut Ilmu Faraid, yana diambil dari lafazh faridhah, yang oleh ulama’
faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan
kadarnya. Jadi disebut dengan ilmu faraidh, karena dalam pembagian harta
warisan telah ditentukan siapa-siapa yang berhak menerima warisan, siapa yang
tidak berhak, dan jumlah (kadarnya) yang akan diterima oleh ahli waris telah
ditentukan
Pembagian harta waris
dalam islam menggunakan dasar hukum yang terdapat dalam Q.S. An-Nisa’ ayat: 7
dan 12 yang artinya.
Artinya: “Bagi orang
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan
bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.”
Dasar Hukum Waris Islam
a. Adapun yang menjadi dasar
pelaksanaan pembagian harta warisan dalam hukum Islam adalah berpedoman pada
ayat-ayat Al Qur’an berikut ini, yaitu
1. Surat An-Nisa’ ayat 7, yang artinya :
“Bagi laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (Joko Utama,
Muhammad Faridh, Mashadi, Al-Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, CV. Putra Toha
Semarang, Semarang, hal.62. )
2. Surat An-nisa’ ayat 8, yang artinya :
“Dan apabila sewaktu
pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka
dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
baik.” (Ibid. )
3. Surat An-Nisa’ ayat 11, yang artinya :
“Allah mensyariatkan
(mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu)
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan
jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu
seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk
kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak
mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah
(dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya.
(Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetpan Allah. Sungguh,
Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (Ibid.)
4. Surat An-Nisa’ ayat 12, yang artinya
“Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah, dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja), atau saudara perempuan (seibu
saja), maka bagian masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari
Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (Ibid.)
5. Surat An-Nisa’ ayat 33
“Dan untuk
masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris
atas apa yang telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Dan orang-orang yang
kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka
bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.”(Ibid., hal.66.)
6. Surat An-Nisa’ ayat 176, yang artinya :
“Mereka meminta fatwa
kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah (yaitu) : Jika seseorang meningal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua
dari harta yang ditinggalkanya dan saudara-saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara
laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan
(hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (Ibid., hal.84.)
7. Surat Al-Baqarah ayat 180, yang artinya :
“Diwajibkan atas kamu
apabila sesorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya
secara makruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang bertakwa.” (Ibid.,
hal.21. )
8. Surat Al-Baqarah ayat 240, yang artinya :
“Dan orang-orang
yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk ister-isterinya (yaitu) diberi nafkah hingga
setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika
mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka membuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ibid., hal 31.)
9. Surat Al-Azhab ayat 4, yang artinya :
“Allah sekali-sekali
tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak
menjadikan isteri-isteri yang kamu zhihar itu sebagai ibu, dan Dia tidak
menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian
itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya
dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).(Ibid., hal 334.
b. Sedangkan pedoman waris menurut hadits yaitu :
- Hadits Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil
Hadits Rasulullah dari
Huzail bin Syurahbil yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmizi, dan
Ibn Majah. Abu Musa ditanya tentang pembagian harta warisan seorang anak
perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Abu Musa
berkata: “Untuk anak perempuan seperdua dan untuk saudara perempuan seperdua.
Datanglah kepada Ibnu Mas’ud, tentu ia akan mengatakan seperti itu pula”.
Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan ia menjawab : “Saya menetapkan atas
dasar apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, yaitu untuk anak perempuan
seperdua, untuk melengkapi dua pertiga cucu seperenam, dan selebihnya adalah
untuk saudara perempuan”. (Zainuddin Ali,Pelaksanaan Hukum Waris Di
Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.40.)
- Hadits Rasulullah dari Qabisah bin Syu’aibHadits Rasulullah dari
Qabisah bin Syu’aib yang diriwayatkan oleh perawi yang lima selain
An-Nasai. “Seorang nenek datang kepada Abu Bakar meminta hak kewarisan
dari cucunya (yang meninggal itu). Abu Bakar berkata : “Dalam kitab Allah
tidak disebutkan sesuatu untukmu dan juga tidak ada dalam hadits
Rasulullah. Pulang sajalah dulu, nanti saya tanyakan kepada orang lain
kalau ada yang mengetahui”. Kemudian Abu Bakar menyatakan kepada para
sahabat mengenai hal tersebut. Mugirah menjawab pertanyaan Abu Bakar dan
berkata : “Saya pernah melihat pada saat Rasulullah memberikan hak kewarisan
untuk nenek dari seorang cucu yang meninggal sebanyak seperenam”. Abu
Bakar bertanya : “Apakah ada yang lain yang mengetahui selain kamu?”
Muhammad bin Maslamah tampil dan mengatakan seperti yang dikatakan oleh
Mugirah. Kemudian Abu Bakar memberikan seperenam kepada nenek harta
peninggalan cucunya”. (Ibid)
- Hadits Rasulullah dari Sa’ad bin WaqqasHadits Rasulullah dari Sa’ad
bin Waqqas yang diriwayatkan oleh Bukhari. Sa’ad bin Waqqas bercerita
sewaktu ia sakit keras, Rasulullah mengunjunginya. Ia bertanya kepada
Rasulullah : “Saya mempunyai harta yang banyak sedangkan saya hanya
mempunyai seorang anak perempuan yang akan mewarisi harta saya. Apakah
perlu saya sedekahkan dua pertiga harta saya ?” Rasululah menjawab :
“Jangan!” Kemudian bertanya lagi Sa’ad : “Bagaimana jika sepertiga ?”
Bersabda Rasulullah : “Sepertiga, cukup banyak. Sesungguhnya jika engkau
meninggalkan anakmu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik dari pada
meninggalkannya dalam keadaan miskin (berkekurangan), sehingga meminta-minta
kepada orang lain.” (Ibid., hal.41.)
- Hadits Rasulullah dari Abu HurairahHadits Rasulullah dari Abu Hurairah
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Abu Hurairah menceritakan bahwa
Rasulullah bersabda : “Aku lebih dekat kepada orang-orang mukmin dari
mereka itu sendiri antara sesamanya. Oleh karena itu, bila ada orang yang
meninggal dan meninggalkan utang yang tidak dapat dibayarnya (tidak dapat
dilunasi dari harta peninggalannya) maka kewajibankulah untuk membayarnya,
dan jika dia meninggalkan harta (saldo yang aktif) maka harta itu untuk
ahli waris-ahli warisnya.” (Ibid.)
- Hadits Rasulullah dari Wasilah bin Al-Aska’Hadits Rasulullah dari
Wasilah bin Al-Aska’ yang diriwayatkan oleh At-Tirmizi, Abu Dawud dan Ibn
Majah. Wasilah bin Aska’ menceritakan bahwa Rasulullah bersabda :
“Perempuan menghimpun tiga macam hak mewaris, yaitu (1) mewarisi budak
lepasannya, (2) anak zinanya, dan (3) mewarisi anak li’annya.” (Ibid.,
hal.42.
c. Pedoman pelaksanaan hukum waris Islam menurut Ijtihad adalah :
Masalah-masalah yang menyangkut warisan ada yang sudah dijelaskan
permasalahannya dalam Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang kongkret,
sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi, bahkan mencapai ijma’
(konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam. Selain dari itu masih banyak
masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan. (Muhammad Jawad
Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Lentera, Jakarta, 2000, hal.535.)
Penyebab timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai
masalah waris ada cukup banyak. Tetapi ada dua hal yang menjadi penyebab
utamanya, yakni : (Ibid.)
- Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan
ijtihad berbeda
- Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga
berbeda.
Hal-hal tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab atau
aliran dalam hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan maksud
mempersatukan dan memudahkan umat Islam dalam mencari kitab pegangan hukum
Islam, Ibnu Muqqafa (wafat tahun 762 M) menyarankan Khalifah Abu Ja’far
al-Mansur agar disusun sebuah Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap berdasarkan
Al-Qur’an, Sunnah, dan ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan kemaslahatan
umat. (Ibid.)
Khalifah Al-Mansur mendukung gagasan tersebut. Namun gagasan tersebut tak
mendapat respon yang positif dari ulama pada waktu itu, karena ulama tak mau
memaksakan pahamnya untuk diikuti umat, karena mereka menyadari bahwa hasil
ijtihadnya belum tentu benar. Imam Malik juga pernah didesak oleh Khalifah
Al-Mansur dan Harun al-Rasyid untuk menyusun sebuah kitab untuk menjadi
pegangan umat Islam, karena setiap bangsa atau umat mempunyai pemimpin-pemimpin
yang lebih tahu tentang hukum-hukum yang cocok dengan bangsa atau
umatnya. (Ibid.)
d. Dan dasar hukum pelaksanaan pembagian warisan menurut Kompilasi Hukum
Islam (KHI), yaitu terdapat dalam Pasal 171-193 KHI.
Syarat Pembagian Waris
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan, yaitu:
a. Meninggal dunianya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggal dunia adalah baik meninggal dunia hakiki
(sejati), meninggal dunia hukmi (menurut putusan hakim) dan meninggal
dunia taqdiri (menurut dugaan). Lebih lanjut mengenai pengertian mati hakiki,
hukmi dan taqdiri adalah sebagai berikut :
- Mati hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus
melalui pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia. (Ahmad
Rofiq, Fiqh Mawaris, Op.Cit.,hal.28.)
- Mati hukmi, yaitu kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan
melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi
seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang, tanpa diketahui di
mana dan bagaimana keadannya. Setelah dilakukan upaya-upaya tertentu,
melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal
dunia. (Ibid.)
- Mati taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah
meninggal dunia. Misalnya, seseorang yang diketahui ikut berperang ke
medan perang. Setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui kabar
beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa orang tersebut telah meninggal
dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal. (Ibid.)
Tanpa ada kepastian bahwa pewaris meninggal dunia, warisan tidak boleh
dibagi-bagikan kepada ahli waris. (A.Rachmad Budiono,
Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, PT.CitraAditya Bakti, Bandung, 1999, hal.10.)
b. Hidupnya ahli waris
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli
waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh
pewaris. Perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan. Oleh
karena itu, sesudah pewaris meninggal dunia, ahli warisnya harus benar-benar
hidup. (Ibid.)
c. Mengetahui status kewarisan
Agar seseorang dapat mewarisi harta orang meninggal dunia, haruslah jelas
hubungan antara keduanya. Misalnya, hubungan suami-isteri, hubungan
orangtua-anak dan hubungan saudara, baik sekandung, sebapak maupun
seibu. (Ibid.)
Rukun Pembagian Waris
Adapun beberapa rukun
pembagian waris yaitu (1) pewaris, (2) harta warisan, dan (3) ahli waris.
Ketiga unsur tersebut saling berkaitan, dan masing-masing mempunyai ketentuan
tersendiri. Hal ini diuraikan sebagai berikut :
a. Pewaris (Al-Muwarris)
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama Islam,
meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Istilah pewaris
secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari
seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Oleh
karena itu, seseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya kepada
keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan itu dilakukan pada
saat menjelang kematiannya. (Zainuddin Ali, Op.Cit., hal.46)
Menurut sistem hukum waris Islam, pewaris adalah orang yang memiliki harta
semasa hidupnya, telah meninggal dunia, dan beragama Islam. Baik yang
mewariskan maupun yang diwarisi harta warisan harus beragama Islam. (F.
Satrio Wicaksono, Op.Cit., hal.6.)
Sedangkan pengertian pewaris menurut Pasal 171 KHI huruf b yaitu : “Pewaris
adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan
harta peninggalan.”
b. Harta Warisan (Al Mauuruts)
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama
sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah, dan pembayaran utang serta wasiat pewaris. (Zainuddin
Ali, Op.Cit., hal.46.)
Harta warisan menurut hukum waris Islam adalah harta bawaan dan harta
bersama dikurang biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pewaris selama sakit dan
setelah meninggal dunia. Misalnya pembayaran hutang, pengurusan jenazah dan
pemakaman. Harta warisan dalam hukum waris Islam tidak hanya harta benda tetapi
juga hak-hak dari pewaris.(F. Satrio Wicaksono, Op.Cit., hal.7.)
Harta warisan berbeda dengan harta peninggalan. Tidak semua harta
peninggalan menjadi harta warisan yang dapat diwariskan kepada ahli waris,
melainkan semua harta warisan baik berupa benda maupun berupa hak-hak harus
bersih dari segala sangkut paut dengan orang lain. (Ibid.)
Pengertian harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh orang yang
mati secara mutlak.(Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal483.) Sedangkan pengertian
harta warisan menurut Pasal 171 huruf e KHI yaitu :
“Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya,
biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk
kerabat.”
c. Ahli Waris(Al Waarits)
Ahli waris adalah orang yang berhak mewaris karena hubungan kekerabatan
(nasab) atau hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. (Zainuddin Ali,
Op.Cit., hal.46.)
Termasuk dalam pengertian ini adalah bayi yang masih berada dalam
kandungan. Meskipun masih berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup, melalui
gerakan (kontraksi) atau cara lainnya, maka bagi si janin tersebut mendapatkan
harta warisan.(Ahmad Rofiq,Fiqh Mawaris,Op.Cit., hal.29.) Untuk itu perlu
diketahui batasan yang tegas mengenai batasan paling sedikit (batas minimal)
atau paling lama (batas maksimal) usia kandungan. Ini dimaksudkan untuk
mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan. (Ibid.)
Yang dapat menjadi ahli waris dari pewaris yang beragama Islam adalah ahli
waris yang beragama Islam. Ahli waris dapat dipandang Islam apabila diketahui
dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi
bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut agama dari
ayahnya atau lingkungan sekitar si bayi tersebut. (F. Satrio Wicaksono,
Op.Cit., hal.23.)
Sedangkan pengertian
ahli waris menurut Pasal 171 huruf c yaitu :
“Ahli waris adalah orang pada saat pewaris meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”
- terkadang ia mempengaruhi orang
lain. (Ibid.)
Ahli waris
Dalam penerapan hukum
waris, apabila seorang pewaris yang beragama selain Islam meninggal dunia, maka
yang digunakan adalah sistem pewarisan berdasarkan Hukum Waris sesuai
dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
Menurut KUHPerdata, prinsip dari pewarisan adalah:
1. Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada
pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian. (Pasal 830 KUHPerdata);
2. Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli
waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata),
dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal
dunia. Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia,
maka suami/isteri tersebut bukan merupakan ahli waris dari pewaris.
Berdasarkan prinsip
tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan
darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung maupun orang tua,
saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga,
apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris ada empat golongan
besar, yaitu:
1. Golongan I: suami/isteri yang hidup
terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata).
2. Golongan II: orang tua dan saudara kandung
Pewaris
3. Golongan III: Keluarga dalam garis lurus
ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris
4. Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik
dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat
keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta
keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.
Mengapa ahli waris dibagi ke dalam 4 golongan ini?
Golongan ahli waris ini
menunjukkan siapa ahli waris yang lebih didahulukan berdasarkan urutannya.
Artinya, ahli waris golongan II tidak bisa mewarisi harta peninggalan pewaris
dalam hal ahli waris golongan I masih ada.
Dalam kasus Anda, saya
mengambil kesimpulan bahwa walaupun kakak Anda tidak memiliki anak, namun masih
memiliki seorang isteri. Dengan demikian, sebagai ahli waris Golongan I, maka
isteri kakak Anda tersebut berhak sepenuhnya atas harta peninggalan dari
mendiang kakak Anda.
Beberapa
Ketentuan Mawarits.
a. Pembagian warisan dalam Islam dilakukan
secara adil, demokratis dan mengangkat derajat kaum wanita sekalipun
bagiannya separo dari bagian laki-laki karena adanya tanggung jawab pria
lebih besar ketimbang kaum perempuan, yang pada zaman jahiliyah wanita dianggap
harta warisan.
b. Ketentuan Pembagian Warisan. Ketentuan
pembagian warisan didasarkan pada firman Allah swt., surat An-Nisa : 7 Artinya
: "Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak
dan kerabatnya dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian
yang telah ditetapkan".(Q.S An-Nisa:7)11-12
DAFTAR PUSTAKA