Sunday, 1 April 2018

harta warisan

http://jogja.tribunnews.com/2015/10/12/penjelasan-pembagian-warisan

Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan.
Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat dan masyarakat lingkungannya.
Demikian jugadengan kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu kematian tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan dengan pengurusan jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimanacara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang dikenal dengan nama Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan nama Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh.
Dalam hukum waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa-siapa yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian mereka masing-masing bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula berbagai hal yang berhubungan dengan soal pembagian harta warisan.
Namun dalam makalah ini kami hanya menjelaskan pengertian, dasar hukum, pewaris,  dan ketentuan kewarisan.

A.    Pengertian Kewarisan
Waris adalah mashdar ( ورث ايرثارثاوميزاثاyang artinya si Fulan mewariskan kepada kerabatnya, dan mewariskan kepada ayah-ayahnya.[1]
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (موارث), yang merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa –yarisu – irsan – mirasan. Yang maknanya menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Sedangkan makna mawaris menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i. Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan hak milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai dengan ketentuan dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Sedangkan istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya.
Menurut Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan warisan sebagai berikut adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW. yang berbunyi;
ان الله قداعطى كل ذي حق حقهه فلا وصية لوارث (رواه اْ حمدواْ بوداودوالترمذى وابن ما جه)
Sesungguhnnya Allah SWT. telah memberi kepada orang yang berhak atasa haknya. Ketahuilah! Tidak ada wasiat kepada ahli waris. (H.R. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah) [2]
Fiqih Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, yana diambil dari lafazh faridhah, yang oleh ulama’ faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya. Jadi disebut dengan ilmu faraidh, karena dalam pembagian harta warisan telah ditentukan siapa-siapa yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak, dan jumlah (kadarnya) yang akan diterima oleh ahli waris telah ditentukan
Pembagian harta waris dalam islam menggunakan dasar hukum yang terdapat dalam Q.S. An-Nisa’ ayat: 7 dan 12 yang artinya.
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.”

Dasar Hukum Waris Islam
a.        Adapun yang menjadi dasar pelaksanaan pembagian harta warisan dalam hukum Islam adalah berpedoman pada ayat-ayat Al Qur’an berikut ini, yaitu
1.      Surat An-Nisa’ ayat 7, yang artinya : 
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan  ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”  (Joko Utama, Muhammad Faridh, Mashadi, Al-Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, CV. Putra Toha Semarang, Semarang, hal.62. )
2.      Surat An-nisa’ ayat 8, yang artinya : 
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (Ibid. )
3.      Surat An-Nisa’ ayat 11, yang artinya : 
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetpan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (Ibid.)
4.      Surat An-Nisa’ ayat 12, yang artinya 
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah  dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah, dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja), atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagian masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (Ibid.)
5.      Surat An-Nisa’ ayat 33 
“Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.”(Ibid., hal.66.)
6.      Surat An-Nisa’ ayat 176, yang artinya : 
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) : Jika seseorang meningal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkanya dan saudara-saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Ibid., hal.84.)
7.      Surat Al-Baqarah ayat 180, yang artinya : 
“Diwajibkan atas kamu apabila sesorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang bertakwa.” (Ibid., hal.21. )
8.      Surat Al-Baqarah ayat 240, yang artinya : 
“Dan  orang-orang  yang  akan meninggal  dunia di  antaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk ister-isterinya (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka membuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ibid., hal 31.)
9.      Surat Al-Azhab ayat 4, yang artinya : 
“Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan isteri-isteri yang kamu zhihar itu sebagai ibu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).(Ibid., hal 334.
b. Sedangkan pedoman waris menurut hadits yaitu : 
  1. Hadits Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil 
Hadits Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmizi, dan Ibn Majah. Abu Musa ditanya tentang pembagian harta warisan seorang anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Abu Musa berkata: “Untuk anak perempuan seperdua dan untuk saudara perempuan seperdua. Datanglah kepada Ibnu Mas’ud, tentu ia akan mengatakan seperti itu pula”. Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan ia menjawab : “Saya menetapkan atas dasar apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, yaitu untuk anak perempuan seperdua, untuk melengkapi dua pertiga cucu seperenam, dan selebihnya adalah untuk saudara perempuan”. (Zainuddin Ali,Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.40.)
  1. Hadits Rasulullah dari Qabisah bin Syu’aibHadits Rasulullah dari Qabisah bin Syu’aib yang diriwayatkan oleh perawi yang lima selain An-Nasai. “Seorang nenek datang kepada Abu Bakar meminta hak kewarisan dari cucunya (yang meninggal itu). Abu Bakar berkata : “Dalam kitab Allah tidak disebutkan sesuatu untukmu dan juga tidak ada dalam hadits Rasulullah. Pulang sajalah dulu, nanti saya tanyakan kepada orang lain kalau ada yang mengetahui”. Kemudian Abu Bakar menyatakan kepada para sahabat mengenai hal tersebut. Mugirah menjawab pertanyaan Abu Bakar dan berkata : “Saya pernah melihat pada saat Rasulullah memberikan hak kewarisan untuk nenek dari seorang cucu yang meninggal sebanyak seperenam”. Abu Bakar bertanya : “Apakah ada yang lain yang mengetahui selain kamu?” Muhammad bin Maslamah tampil dan mengatakan seperti yang dikatakan oleh Mugirah. Kemudian Abu Bakar memberikan seperenam kepada nenek harta peninggalan cucunya”. (Ibid)
  2. Hadits Rasulullah dari Sa’ad bin WaqqasHadits Rasulullah dari Sa’ad bin Waqqas yang diriwayatkan oleh Bukhari. Sa’ad bin Waqqas bercerita sewaktu ia sakit keras, Rasulullah mengunjunginya. Ia bertanya kepada Rasulullah : “Saya mempunyai harta yang banyak sedangkan saya hanya mempunyai seorang anak perempuan yang akan mewarisi harta saya. Apakah perlu saya sedekahkan dua pertiga harta saya ?” Rasululah menjawab : “Jangan!” Kemudian bertanya lagi Sa’ad : “Bagaimana jika sepertiga ?” Bersabda Rasulullah : “Sepertiga, cukup banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan anakmu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik dari pada meninggalkannya dalam keadaan miskin (berkekurangan), sehingga meminta-minta kepada orang lain.” (Ibid., hal.41.)
  3. Hadits Rasulullah dari Abu HurairahHadits Rasulullah dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah bersabda : “Aku lebih dekat kepada orang-orang mukmin dari mereka itu sendiri antara sesamanya. Oleh karena itu, bila ada orang yang meninggal dan meninggalkan utang yang tidak dapat dibayarnya (tidak dapat dilunasi dari harta peninggalannya) maka kewajibankulah untuk membayarnya, dan jika dia meninggalkan harta (saldo yang aktif) maka harta itu untuk ahli waris-ahli warisnya.” (Ibid.)
  4. Hadits Rasulullah dari Wasilah bin Al-Aska’Hadits Rasulullah dari Wasilah bin Al-Aska’ yang diriwayatkan oleh At-Tirmizi, Abu Dawud dan Ibn Majah. Wasilah bin Aska’ menceritakan bahwa Rasulullah bersabda : “Perempuan menghimpun tiga macam hak mewaris, yaitu (1) mewarisi budak lepasannya, (2) anak zinanya, dan (3) mewarisi anak li’annya.” (Ibid., hal.42.
c. Pedoman pelaksanaan hukum waris Islam menurut Ijtihad adalah : Masalah-masalah yang menyangkut warisan ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi, bahkan mencapai ijma’ (konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam. Selain dari itu masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan. (Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Lentera, Jakarta, 2000, hal.535.)

Penyebab timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai masalah waris ada cukup banyak. Tetapi ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya, yakni : (Ibid.)
  1. Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad berbeda 
  2. Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda. 
Hal-hal tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab atau aliran dalam hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan maksud mempersatukan dan memudahkan umat Islam dalam mencari kitab pegangan hukum Islam, Ibnu Muqqafa (wafat tahun 762 M) menyarankan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur agar disusun sebuah Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan kemaslahatan umat. (Ibid.)

Khalifah Al-Mansur mendukung gagasan tersebut. Namun gagasan tersebut tak mendapat respon yang positif dari ulama pada waktu itu, karena ulama tak mau memaksakan pahamnya untuk diikuti umat, karena mereka menyadari bahwa hasil ijtihadnya belum tentu benar. Imam Malik juga pernah didesak oleh Khalifah Al-Mansur dan Harun al-Rasyid untuk menyusun sebuah kitab untuk menjadi pegangan umat Islam, karena setiap bangsa atau umat mempunyai pemimpin-pemimpin yang lebih tahu tentang hukum-hukum yang cocok dengan bangsa atau umatnya. (Ibid.)

d. Dan dasar hukum pelaksanaan pembagian warisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu terdapat dalam Pasal 171-193 KHI. 
Syarat Pembagian Waris
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan, yaitu:

a. Meninggal dunianya pewaris 
Yang dimaksud dengan meninggal dunia adalah baik meninggal dunia hakiki  (sejati), meninggal dunia hukmi (menurut putusan hakim) dan meninggal dunia taqdiri (menurut dugaan). Lebih lanjut mengenai pengertian mati hakiki, hukmi dan taqdiri adalah sebagai berikut : 

  1. Mati hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia. (Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Op.Cit.,hal.28.) 
  2. Mati hukmi, yaitu kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang, tanpa diketahui di mana dan bagaimana keadannya. Setelah dilakukan upaya-upaya tertentu, melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal dunia. (Ibid.)
  3. Mati taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya, seseorang yang diketahui ikut berperang ke medan perang. Setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui kabar beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal. (Ibid.)


Tanpa ada kepastian bahwa pewaris meninggal dunia, warisan tidak boleh dibagi-bagikan kepada ahli waris. (A.Rachmad  Budiono,  Pembaharuan  Hukum  Kewarisan  Islam  di  Indonesia, PT.CitraAditya Bakti, Bandung, 1999, hal.10.)

b. Hidupnya ahli waris 
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh  pewaris. Perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan. Oleh karena itu, sesudah pewaris meninggal dunia, ahli warisnya harus benar-benar hidup. (Ibid.)

c. Mengetahui status kewarisan 
Agar seseorang dapat mewarisi harta orang meninggal dunia, haruslah jelas hubungan antara keduanya. Misalnya, hubungan suami-isteri, hubungan orangtua-anak dan hubungan saudara, baik sekandung, sebapak maupun seibu. (Ibid.)


Rukun Pembagian Waris
Adapun beberapa rukun pembagian waris yaitu (1) pewaris, (2) harta warisan, dan (3) ahli waris. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan, dan masing-masing mempunyai ketentuan tersendiri. Hal ini diuraikan sebagai berikut :

a.  Pewaris (Al-Muwarris)
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Oleh karena itu, seseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan itu dilakukan pada saat menjelang kematiannya. (Zainuddin Ali, Op.Cit., hal.46)

Menurut sistem hukum waris Islam, pewaris adalah orang yang memiliki harta semasa hidupnya, telah meninggal dunia, dan beragama Islam. Baik yang mewariskan maupun yang diwarisi harta warisan harus beragama Islam. (F. Satrio Wicaksono, Op.Cit., hal.6.)
           
Sedangkan pengertian pewaris menurut Pasal 171 KHI huruf b yaitu : “Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.”

b.  Harta Warisan (Al Mauuruts)
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran utang serta wasiat pewaris. (Zainuddin Ali, Op.Cit., hal.46.)

Harta warisan menurut hukum waris Islam adalah harta bawaan dan harta bersama dikurang biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pewaris selama sakit dan setelah meninggal dunia. Misalnya pembayaran hutang, pengurusan jenazah dan pemakaman. Harta warisan dalam hukum waris Islam tidak hanya harta benda tetapi juga hak-hak dari pewaris.(F. Satrio Wicaksono, Op.Cit., hal.7.)

Harta warisan berbeda dengan harta peninggalan. Tidak semua harta peninggalan menjadi harta warisan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, melainkan semua harta warisan baik berupa benda maupun berupa hak-hak harus bersih dari segala sangkut paut dengan orang lain. (Ibid.)


Pengertian harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh orang yang mati secara mutlak.(Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal483.) Sedangkan pengertian harta warisan menurut Pasal 171 huruf e KHI yaitu :

“Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.”

c.  Ahli Waris(Al Waarits)

Ahli waris adalah orang yang berhak mewaris karena hubungan kekerabatan (nasab) atau hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. (Zainuddin Ali, Op.Cit., hal.46.)

Termasuk dalam pengertian ini adalah bayi yang masih berada dalam kandungan. Meskipun masih berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup, melalui gerakan (kontraksi) atau cara lainnya, maka bagi si janin tersebut mendapatkan harta warisan.(Ahmad Rofiq,Fiqh Mawaris,Op.Cit., hal.29.) Untuk itu perlu diketahui batasan yang tegas mengenai batasan paling sedikit (batas minimal) atau paling lama (batas maksimal) usia kandungan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan. (Ibid.)

Yang dapat menjadi ahli waris dari pewaris yang beragama Islam adalah ahli waris yang beragama Islam. Ahli waris dapat dipandang Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut agama dari ayahnya atau lingkungan sekitar si bayi tersebut. (F. Satrio Wicaksono, Op.Cit., hal.23.)

Sedangkan pengertian ahli waris menurut Pasal 171 huruf c yaitu :
“Ahli waris adalah orang pada saat pewaris meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”

    • terkadang ia mempengaruhi orang lain. (Ibid.)
Ahli waris
Dalam penerapan hukum waris, apabila seorang pewaris yang beragama selain Islam meninggal dunia, maka yang digunakan adalah sistem pewarisan berdasarkan Hukum Waris sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).

Menurut KUHPerdata, prinsip dari pewarisan adalah:
1.    Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian. (Pasal 830 KUHPerdata);
2.    Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/isteri tersebut bukan merupakan ahli waris dari pewaris.

Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris ada empat golongan besar, yaitu:
1.    Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata).
2.    Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris
3.    Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris
4.    Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.

Mengapa ahli waris dibagi ke dalam 4 golongan ini?

Golongan ahli waris ini menunjukkan siapa ahli waris yang lebih didahulukan berdasarkan urutannya. Artinya, ahli waris golongan II tidak bisa mewarisi harta peninggalan pewaris dalam hal ahli waris golongan I masih ada.

Dalam kasus Anda, saya mengambil kesimpulan bahwa walaupun kakak Anda tidak memiliki anak, namun masih memiliki seorang isteri. Dengan demikian, sebagai ahli waris Golongan I, maka isteri kakak Anda tersebut berhak sepenuhnya atas harta peninggalan dari mendiang kakak Anda.


Beberapa Ketentuan Mawarits.
 a. Pembagian warisan dalam Islam dilakukan secara adil, demokratis dan  mengangkat derajat kaum wanita sekalipun bagiannya separo dari bagian laki-laki karena  adanya tanggung jawab pria lebih besar ketimbang kaum perempuan, yang pada zaman jahiliyah wanita dianggap harta warisan.
 b. Ketentuan Pembagian Warisan. Ketentuan pembagian warisan didasarkan pada firman Allah swt., surat An-Nisa : 7 Artinya : "Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan".(Q.S An-Nisa:7)11-12

DAFTAR PUSTAKA

www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com