Saturday, 31 May 2014

makiyyah dan madaniyyah

  1. Pengertian Makiyyah dan Madaniyyah.
Studi tentang ayat- ayat Makkiyah dan Madinyah sesungguhnya tidak lebih dari memahami penggelompokan ayat- ayat Al-Quran berdasarkan waktu dan tempat turunya sebuah atau beberapa buah ayat Al-Quran. Al-Qur’an turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara berangsur-angsur dalam jangka waktu dua puluh tiga tahun dan sebagian besar diterima oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Mekah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيْلاً
“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)
Oleh karena itu para ulama membagi Al-Qur’an menjadi dua bagian, yaitu : Makkiyah dan Madaniyah. Makkiyah adalah wahyu (surat dan ayat) yang diturunkan kepada Nabi Muhamamd SAW sebelum berhijrah ke Madinah, yaitu 12 tahun 5 bulan 13 hari. Yakni dari 17 Ramadhan tahun 41 dari Milad hingga awal Rabi’ul awwal tahun 54 dari Milad Nabi. Madaniyah adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW setelah berhijrah ke Madinah. Yaitu selama 9 tahun 9 bulan 9 hari. Yaitu dari permulaan Rabi’ul Awal tahun 54 dari Milad Nabi , hingga 9 Dzulhijjah tahun 63 dari Milad Nabi, atau tahun 10 Hijra.
Berdasarkan hal tersebut maka firman Allah ‘Azza wa Jalla:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (Al-Maa’idah: 3)
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 (dua puluh tiga) tahun. Ayat-ayat dan suart-surat dalam Al-Qur’an terbagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan perbedaan tempat turunnya, waktu, sebab dan kondisinya.
Sebagian besar surat dan ayat Al-Qur’an itu Makkiyah dan sebagian lagi Madaniyah. Surat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah disebut surat Makkiyah dan yang diturunkan setelah Nabi hijrah disebut surat Madaniyah. Walaupun turunnya di luar kota Madinah, atau bahkan dikota Mekah itu sendiri. Surat Makkiyah merupakan bagian terbesar dari surah-surah Al-Qur’an, khususnya surat-surat pendek.
Sebagian surat dan ayat Al-Qur’an ada yang diturunkan ketika Nabi sedang melakukan perjalanan (safar), dan sebagian lagi ketika beliau tidak sedang dalam bepergian. Begitu juga ada yang diturunkan diwaktu malam hari dan ada yang turun di waktu siang hari. Ada yang turun diwaktu perang dan ada juga yang turun diwaktu damai. Ada yang turun dibumi dan ada yang turun dilangit. Ada yang turun ketika nabi berada ditengah-tengah orang banyak dan ada yang turun ketika beliau sedang sendirian.
Pengertian Surat Makiyah dan Madaniyah Ada tiga pengertian yang dipakai para ulama’ dalam mengartikan surat makiyah dan madaniyah, yaitu :
Pertama: Surat Makiyah adalah yang diturunkan di Makkah walaupun turunnya itu setelah hijrah. Yang termasuk turun di Makkah adalah daerah-daerah yang masih dalam kawasan Makkah, seperti di Mina, Arafah, dan Hudaibiyah.
Sedangkan surat Madaniyah adalah yang diturunkan di Madinah. Yang termasuk turun di Madinah adalah seperti di kawasan Badar dan Uhud. Pembagian ini berdasarkan tempat turunnya Al-Qur’an (segi makani), tetapi hal ini tidak bisa dijadikan patokan atau batasan, karena hal ini tidak mencakup ayat-ayat yang diturunkan di selain Makkah dan Madinah. Tidak diragukan lagi bahwa tidak adanya batasan dalam pembagian itu menyebabkan tidak masuknya sejumlah ayat yang diturunkan diantara keduanya. Dan yang demikian ini mengandung cacat.
Kedua: Surat Makiyah adalah yang mengkhitobi penduduk Mekkah, sedangkan ayat Madaniyah adalah yang mengkhotobi penduduk Madinah. Dari pengertian ini, dapat difahami bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang dimulai dengan ياايهاالناس adalah ayat Makiyah, dan ayat-ayat yang dimulai dengan ياايهاالذين امنوا adalah termasuk ayat Madaniyah. Karena kebanyakan orang kafir itu dari penduduk Makkah, meskipun dari penduduk Madinah juga ada yang kafir.
Sedangkan orang-orang yang beriman kebanyakan dari penduduk Madinah, walaupun dari penduduk Mekah juga ada yang beriman. Pembagian ini didasarkan pada mukhotobnya (segi khitobi), tetapi ketentuan tadi mengecualikan dua hal :
1. Tidak adanya patokan dan batasan. Sebenarnya permulaan surat dalam Al-Qur’an tidak hanya dimulai dengan salah satu kedua lafadz tersebut. Sebagaimana dalam permulaan suratal-Munafiqun: اذاجاءك المنافقون قالوانشهدانك لرسول الله والله يعلم انك لرسوله والله يشهد ان المنا فقين لكادبون. (المنا فقون:1) Artinya : “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu,mereka berkata:”Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rosul Allah”. Dan Allah mengetahui sesungguhnya kamu benar-benar Rosul-Nya; Dan Allah mengetahui sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.(QS.Al-Munafiqun:1).
2. Pembagian ini tidak berlaku secara umum dalam kedua sighot tersebut, melainkan terdapat ayat-ayat Madaniyah yang dimulai dengan sighot “Yaa Ayyuhan Naasu”dan terdapat ayat-ayat Makiyah yang dimulai dengan “Yaa Ayyuhal Ladziina Amanu”. Contoh yang pertama QS. An-Nisa’. Sebenarnya surat ini termasuk surat Madaniyah, namun permulaannya “Yaa Ayyuhan Nasu taku Robbakum”. Sedangkan contoh yang kedua adalah QS. Al-Hajj. Sebenarnya surat ini termasuk dalam kelompok surat Makiyah. Namun pada bagian akhir terdapat : يـــا ايها الذ ين امنوا ار كعوا واسجد وا . Sehingga sebagian ulama mengatakan, apabila yang dimaksud adalah sebagian besar ayat itu dimulai dengan ungkapan tersebut, maka yang demikian itu adalah benar.
Ketiga: Ayat Makiyah adalah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebelum nabi hijrah, walaupun turunnya di lain kota Mekah. Sedangkan ayat Madaniyah adalah yang diturunkan setelah nabi hijrah, walaupun turunnya di Makkah. Pembagian ini dilihat dari waktu turunnya (segi zamani). Pembagian ini adalah pembagian yang benar dan selamat dari cacat, karena di sini terdapat patokan dan batasan yang barlaku secara umum.Oleh karena itu,kebanyakan ulama’ berpegang pada pendapat ini. Sebagaimana firman Allah SWT: اليوم اكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الاسلام دينا Artinya : “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamu,dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu menjadi agama bagimu.(Al-maidah:3) Ayat ini diturunkan pada hari Jum’at di Arafah ketika haji Wada’, tetapi ayat ini termasuk ayat madaniyah.
Sekalipun definisi di atas pada dasarnya merupakan bagian dari usaha pengklasifikasian ayat- ayat Al- Quran. Dengan pengklasifikasian yang teliti berdasarkan tempat dan waktu turunya ayat, akan diketahui ayat-ayat mana saja yang turun lebih dahulu dan turun kemudian.

  1. Faedah Mengetahui Surat Makiyah dan Madaniyah
Selanjutnya akan diketahui pula kronologi turunnya ayat atau ayat- ayat tertentu. Dari pengetahuan mengenai Makkiyah dan Madaniyah ini, sekurang- kurangnya ada beberapa faidah dalam mengetahui surat makiyah dan madaniyah, yaitu :

  1. Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan Al-Qur’an, sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan mentafsirkannya dengan tafsiran yang benar, sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang penafsir dapat membedakan mana nasikh dan mana mansukh bila diantara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Contoh: والذين يتوفّون منكم ويذرون ازواجا وصية لازوجهم متاعا الى الحول(البقرة :240) Dinasikh dengan ayat: يتربصن بانفسهن اربعة اشهر وعشرا(البقرة :234) 2
  2. Meresapi gaya bahasa Al-Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju jalan Allah, sebab setiap situasi mempunyai bahasa sendiri.
  3. Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Al-Qur’an, sebab turunnya wahyu kepada Rosululloh sejalan dengan sejarah dakwah beserta segala peristiwanya.
  4. Mengetahui tarikh tasyri’ dan pemantapan dalam mentasyri’kan hukum secara umum.
  5. Percaya bahwa AL-Qur’an telah sampai kepada kita terhindar dari perubahan dan pembelokan. Oleh karena itu perlu bagi orang-orang islam mengetahuinya dengan seksama, sehingga mereka bisa mengatahui, dan kemudian beralih mengetahui ayat-ayat yang diturunkan sebelum hijrah dan sesudah hijrah, ayat-ayat yang diturunkan pada siang hari dan pada malam hari,dst.
  6. Agar dapat meningkatkan keyakinan terhadap kebenaran, kesucian dan keaslian al-Qur’an.
Dr Subhi Shalih dalam bukunya “Mabahits fi Ulumil Qur’an” mengatakan bahwa faedah dari ilmu ini adalah:

  1. Dapat mengetahui fase-fase dari da’wah islamiyah yang ditempuh oleh Al-Qur’an secara berangsur-angsur dan sangat bijaksana.
  2. Dapat mengetahui situasi dan kondisi lingkungan masyarakat pada waktu turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, khususnya masyarakat Mekkah dan Madinah.
  3. Dapat mengetahui Uslub-uslub bahasanya yang berbeda, karena ditujukan kepada golongan-golongan yang berbeda.
Di setiap sudut atas lembaran Alqur’an selalu ditemukan keterangan surah al-makkiyah dan surah al-madaniyah. Demikian pula dalam Alquran dan Tarjamah sumbangan King Abdul Aziz Saudi Arabia, keterangan makkiyyah dan madaniyah ditulis secara khusus dalam muqaddimah. al-Makkiyah dan al-Madaniah merupakan salah satu tema penting dalam pembahasan ‘Ulum al-Qur`an. Semua ulama sejak dulu hingga sekarang tidak pernah melewatkan tema ini, khususnya dalam konteks penafsiran Al-Qur’an. Kepentingannya terasa sangat diperlukan terutama terkait dengan bagaimana memahami kandungan Al-Qur’an. Munculnya beberapa kekeliruan dalam penafsiran disinyalir karena tidak menggunakan pijakan kronologi sejarah pewahyuan, baik yang terkait dengan asbab al-nuzul, al-makkiyah dan al-madaniyah maupun al -nasikh wa al-mansukh. Istilah Makkiyyah dan Madaniyah sebenarnya diambil dari dua nama kota Makkah dan Madinah, tempat Rasulullah menerima wahyu Al-Qur’an. Penggunaan dua nama kota tersebut dalam tema ‘Ulum al-Qur`an dimaksudkan untuk menginformasikan ada wahyu yang turun di Makkah dan ada pula yang turun di Madinah atau di tempat lain.

  1. C.    Cara-cara Mengetahui Surat Makiyah dan Maddaniyah.
Untuk mengetahui surat Makiyah dan Madaniyah para ulama’ bersandar pada dua cara utama :

  1. Sima’i naqli (pendengaran seperti apa adanya), yakni melalui riwayat yang berasal dari sahabat dan tabi’in, karena Nabi saw. Tidak pernah menjelaskan ayat Makiyah dan Madaniyah. Hal ini karena umat Islam pada waktu itu tidak memerlukan keterangan seperti itu. Bagaimana mereka masih memerlukannya? Padahal mereka menyaksikan sendiri diturunkannya wahyu dan Al-Qur’an, menyaksikan tempat turunnya, waktunya, sebab-sebab diturunkannya secara jelas. “Yang sudah jelas tidak memerlukan penjelasan lagi.”
  2. Qiyasi ijtihadi (qiyas hasil ijtihad), yakni didasarkan pada ciri-ciri Makiyah dan Madaniyah. Apabila dalam surah Makki terdapat suatu ayat yang mengandung sifat madani atau mengandung peristiwa madani, maka dikatakan bahwa ayat itu madani. Dan apabila dalam surah madani terdapat suatu ayat yang mengandung sifat makki atau mengandung peristiwa makki, maka ayat tadi dikatakan sebagai ayat makki. Bila dalam satu surah terdapat ciri – ciri makki, maka  surah itu dinamakan surah makki. Demikian pula bila dalam satu surah terdapat ciri – ciri madani, maka surah itu dinamakan surah madani. Inilah yang disebut qiyas istihadi
    1. D.    Urgensi Pembagian Surat Makkiyah Dan Madaniyah
Madaniyah atau Makkiyah (penetapan aghlabiyah) dan penetapan berdasar pada surat apakah diawali dengan ayat yang turun di mekkah atau madinahsehingga ditentukan dengan berdasar pada muatan ayat awal pada surat,apakah Makkiyah atau Madaniyah (penetapan kontinuitas)Masih terkait dengan pengklasifikasian surat dalam A1-Qur’an.
Ternyata,banyak  manfaat  yang  didapatkan  dalam  menekuni  pengklasifikasiannya.diantaranya menurut al-Zarqani di dalam kitabnya yang berjudul Manahilul‘Irfan yaitu “kita dapat membedakan dan mengetahui ayat yang Manshuk danNasikh. Yakni, apabila terdapat dua ayat atau lebih mengenai suatu masalah,sedang  hukum  yang  terkandung  di  dalam  ayat-ayat  itu  bertentangan.
Kemudian dapat diketahui, bahwa ayat yang satu Makkiyah, sedang yanglainnya Madaniyah; maka sudah tentu ayat yang Makkkiyah itulah yangdinasakh oleh ayat yang Madaniyah, karena ayat yang madaniyah adalah yangterakhir turun”.
Urgensi mengetahui Makiyyah dan Madaniyyah sebagai berikut :

  1. Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan Al Qur`an. Sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar. Sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh, bila diantara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh yang tedahulu.
  2. Meresapi gaya bahasa Al-Quran dan memanfaatkannya dalam metode dakwah menuju jalan Allah. Sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi merupakan arti paling khusus dalam retorika. Karakteristik gaya bahasa makkiyah dan madaniyah dalam Al-Quran pun memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaaannya serta menguasai apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan.
  3. Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Qur`an. Sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya, baik dalam periode Mekkah maupun Madinah. Sejak permulaan turun wahyu hingga ayat terakhir diturunkan. Al-Qur`an adalah sumber pokok bagi peri hidup Rasulullah SAW, perihal hidup beliau yang diriwayatkan ahli sejarah harus sesuai dengan Al-Quran.
  4. Membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dengan mengetahui kronologis Al-Qur’an seorang mufassir dapatmemecahkan makna kontrakdiktif dalam dua ayat yang berbeda yaitudengan konsep Nasikh-Mansukh.
  5. Pedoman bagi langkah-langkah dakwa. Ungkapan-ungkapan dan intonasi berbeda pada ayat Makiyyah dan Madaniyyah  memberikan  informasi  metodologi  bagi  cara-cara menyampaikan dakwah agar relevan dengan mustami’. Memberi informasi tentang Sirah KenabianAl-Qur’an adalah rujukan Otentik bagi perjalanan Dakwah Nabiyang tidak diragukan lagi. Perjalanan dakwah Nabi ini berjalan seiringdengan penahapan turunnya wahyu baik di Mekkah atau Madinah.
  6. Dapat mengetahui dengan jelas sastra Al-Qur’an pada puncak keindahannya, yaitu ketika setiap kaum diajak berdialog yang sesuai dengan keadaan obyek yang didakwahi ; dari ketegasan, kelugasan, kelunakan dan kemudahan.
  7. Dapat mengetahui puncak tertinggi dari hikmah pensyariatan diturunkannya secara berangsur-angsur sesuai dengan prioritas terpenting kondisi obyek yang di dakwahi serta kesiapan mereka dalam menerima dan taat.
  8. Pendidikan dan pengajaran bagi para muballigh serta pengarahan mereka untuk mengikuti kandungan dan konteks Al-Qur’an dalam berdakwah, yaitu dengan mendahulukan yang terpenting di antara yang penting serta menggunakan ketegasan dan kelunakan pada tempatnya masing-masing
  9. Dapat membedakan antara nasikh dan mansukh ketika terdapat dua buah ayat Makkiyah dan Madaniyah, maka lengkaplah syarat-syarat nasakh karena ayat Madaniyah adalah sebagai nasikh (penghapus) ayat Makkiyah disebabkan ayat Madaniyah turun setelah ayat Makkiyah.
Kegunaan dan manfaat mengetahui Surat Makkiyah dan Surat Madaniyah banyak sekali dan merupakan cabang ilmu-ilmu Al-Qur’an yang sangat penting untuk diketahui dan dikuasai oleh seorang mufassir, sampai-sampai kalangan Ulama al-Muhaqqiqun tidak membenarkan seorang penafsir Al-Qur’an tanpa mengetahui ilmu Makkiyah dan Madaniyah.

  1. E.     Ciri-ciri Surat Makiyah dan Surat Madaniyah
Ciri-ciri khas untuk surat Makkiyah dan surat Madaniyah ada 2 macam, yaitu yang bersifat qath’i dan bersifat aghlabi.
Ciri-ciri khas yang bersifat qath’i dari surat Makkiyah adalah:

  1. Setiap surat yang mengandung ayat sajdah.
  2. Setiap surat yang didalamnya terdapat lafadh “kalla”. Lafadz ini di dalam Al-Qur’an telah disebutkan sebanyak 33 kali dalam 15 surat dan kesemuanya itu dalam separuh Al-Qur’an yang akhir.
  3. Setiap surat yang terdapat seruan ياايهاالناس kecuali Surat Al-Hajj ayat 77.
  4. Setiap surat yang terdapat kisah-kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, kecuali Surat Al-Baqarah.
  5. Setiap surat yang terdapat kisah Nabi Adam dan Idris, kecuali surat al-Baqarah.
  6. Setiap surat yang dimulai dengan huruf tahajji (huruf hija’iyah), kecuali surat al-Baqarah dan Ali Imran. Mengenai surat ar-Ra’d ada dua pendapat. Jika dilihat dari segi uslub dan temanya, maka lebih tepat dikatakan surat Makiyah, tetapi sebagian ulama’ lain mengatakan surat Madaniyah.
Adapun ciri-ciri khas yang bersifat aghlabi dari surat Makkiyah adalah:

  1. Ayat-ayat dan surat-suratnya pendek-pendek, nada perkataannya keras dan agak bersajak.
  2. Mengandung seruan untuk beriman kepada Allah SWT dan hari akhir serta menggambarkan keadaansurga dan neraka.
  3. Menyeru manusia berperangai mulia dan berjalan lempeng diatas jalan kebajikan.
  4. Mendebat orang-orang musyrikin dan menerangkan kesalahan-kesalahan pendirian mereka.
  5. Banyak terdapat lafadh qasam (sumpah).
Sedangkan ciri-ciri khas dari surat-surat Madaniyah yang bersifat qath’i adalah sebagai berikut:

  1. Setiap surat yang mengandung izin berjihad, atau ada penerangan tentang jihad dan penjelasan tentang hukum-hukumnya.
  2. Setiap surat yang menjelaskan secara terperinci tentang Hukum Pidana, Fara’idh, Hak-hak Perdata, peraturan-peraturan yang berhubungan dengan bidang keperdataan, kemasyarakatan dan kenegaraan.
  3. Setiap surat yang didalamnya menyinggung hal ihwal orang munafiq, kecuali surat Al-Ankabut.
  4. Setiap surat yang mendebat kepercayaan ahli kitab, dan mengajak mereka tidak berlebih-lebihan dalam beragama.
Selain empat ciri di atas, ada lagi ciri khas dari surat-surat Madaniyah yang bersifat aghlabi, yaitu sebagai berikut:

  1. Suratnya panjang-panjang, dan sebagian ayat-ayatnya pun panjang-panjang serta jelas dalam menerangkan hukum dengan mempergunakan uslub yang terang.
  2. Menjelaskan secara terperinci bukti-bukti dan dalil-dalil yang menunjukkan hakikat keagamaan.
    1. Perbedaan antara Makkiyah dan Madaniyah
    2. Perbedaan Pada Konteks Kalimat.
      1. Kebanyakan ayat-ayat Makiyyah memakai konteks kalimat tegas dan lugas karena kebanyakan obyek yang didakwahi menolak dan berpaling, maka hanya cocok mempergunakan konteks kalimat yang tegas. Baca surat Al-Muddatstsir dan surat Al-Qamar. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan mempergunakan konteks kalimat yang lunak karena kebanyakan obyek yang didakwahi menerima dan taat. Baca surat Al-Maa’idah.
      2. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah adalah ayat-ayat pendek dan argumentatif, karena kebanyakan obyek yang didakwahi mengingkari, sehingga konteks ayatpun mengikuti kondisi yang berlaku. Baca surat Ath-Thuur. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan adalah ayat-ayat pendek, penjelasan tentang hukum-hukum dan tidak argumentatif, karena disesuaikan dengan kondisi obyek yang didakwahi. Baca ayat tentang hutang-piutang dalam surat Al-Baqarah.
      3. Perbedaan Pada Materi Pembahasan
        1. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah berisikan penetapan tauhid dan aqidah yang benar, khususnya yang berkaitan dengan Tauhid Uluhiyah dan iman kepada hari kebangkitan ; karena kebanyakan obyek yang didakwahi mengingkari hal itu. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan berisikan perincian masalah ibadah dan muamalah, karena obyek yang didakwahi sudah memiliki Tauhid dan aqidah yang benar sehingga mereka membutuhkan perincian ibadah dan muamalah.
        2. Penjelasan secara rinci tentang jihad berserta hukum-hukumnya dan kaum munafik beserta segala permasalahannya karena memang kondisinya menuntut demikian. Hal itu ketika disyariatkannya jihad dan timbulnya kemunafikan, berbeda halnya dengan aya-tayat Makkiyah.
        3. Karakteristik Ayat Makkiyah
Turunnya surat-surat makiyyah lamanya 12 tahun, 5 bulan, 13 hari, dimulai pada 17 ramadhan 40 tahun usia Nabi (Februari 610 M).
Para ulama telah meneliti surat-surat makky dan madany, dan menyimpulkan beberapa ketentuan analogis bagi keduanya, yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang dibicarakan. Dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah-kaidah dengan ciri-ciri tersebut. Adapun ketentuan makky ialah:

  1. Setiap surat yang di dalamnya mengandung “sajdah”.
  2. Setiap surat yang mengandung lafal “kalla”, lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Qur’an. Dan disebutkan dalam tiga puluh tiga kali dan lima belas surat.
  3. Setiap surat yang mengandung seruan ya-ayyuhan naasu dan tidak mengandung ya-ayyuhalladzina amanu, terkecuali surat al-hajj yang akhirnya terdapat ya-ayyuhalladzina amanu irka’u wasjudu (QS al-hajj: 77). Namun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat makky.
  4. Setiap surat yang mengandung kisah para Nabi dan umat terdahulu kecuali surat al-baqarah.
  5.  Setiap surat yang mengandung kisah adam dan iblis, kecuali surat al-baqarah.
  6. Setiap surat yang dibuka dengan huruf-huruf hijaiyah, seperti alif lam mim, alif lam ra, ha mim dan lain-lain. Terkecuali surat al-baqarah dan ali imran, sedangkan surat ar-rad masih diperselisihkan.
  7. Sedang dari segi ciri tema dan gaya bahasa atau bisa juga disebut sebagai keistimewaan ayat makkiyah dapat diringkas sebagai berikut:
  8. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniah.
  9. Penetapan dasar-dasar ibadah dan mu’amalah (pidana), etika, keutamaan-keutamaan umum. Diwajibkannya shalat lima waktu, juga diharamkan memakan harta anak yatim secara zalim, sebagaimana sifat takabur dan sifat angkuh juga dilarang, dan tradisi buruk lainnya.
  10.  Menyebutkan kisah Nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang-orang yang mendustakan agama sebelum mereka; dan sebagai hiburan bagi Rasulullah sehingga ia tabah dalam menghadapi gangguan mereka.
  11. Suku katanya pendek-pendek disertai dengan kata-kata yang mengesankan, pernyataannya singkat, ditelinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan.
  12. Karakteristik Ayat Madaniyah
Diantara ciri khusus dari surat-surat madaniyah ialah:

  1. Setiap surat yang berisi kewajiban atau had (sanksi).
  2. Setiap surat yang di dalamnya disebutkan tentang orang-orang munafik, terkecuali surat al-ankabut yang diturunkan di Makkah adalah termasuk surat makkiyah.
  3. Setiap surat yang di dalamnya terdapat dialog antara ahli kitab6, seperti dapat kita dapati dalam surat al-baqarah, an-nisa, ali imran, at-taubah dan lain-lain.
  4. Adapun keistimewaan yang terdapat pada surat madaniyah antara lain adalah sebagai berikut:
  5. Al-Qur’an berbicara kepada masyarakat Islam Madinah, pada umumnya berisi tentang penetapan hukum-hukum, yang meliputi penjelasan tentang ibadah, mu’amalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional baik diwaktu damai maupun perang, dan lain lain.
  6.  Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan yahudi dan nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki diantara sesama mereka.
  7. Di dalam masyarakat Madinah tumbuh sekelompok orang-orang munafik, lalu Al-Qur’an membicarakan sifat mereka dan menguak rahasia mereka. Al-Qur’an menjelaskan bahaya mereka terhadap Islam dan kaum muslimin, serta membeberkan media-media, tipuan-tipuan, serta strategi mereka untuk memperdaya kuam muslim. Di Makkah tidak terdapat kaum munafik, karena saat itu umat Islam sedikit, lemah, sementara orang-orang kafir secara terang-terangan memerangi mereka.
  8. Pada umumnya ayat-ayat dan surat-suratnya panjang dan untuk menggambarkan luasnya akidah dan hukum-hukum Islam. Orang-orang Madinah adalah orang-orang Islam yang menerima dan mendengarkan al Qur’an.

kemukjizatan al-quran

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi kepada Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam banyak sekali mukjizat. Diantaranya, terbelahnya rembulan menjadi dua bagian, kerikil yang ada di tangannya mengucap kalimat tasbih, memancarnya air dari sela-sela jemarinya, serta beliau mampu mengubah makanan sedikit menjadi banyak hingga mencukupi kebutuhan orang banyak.
Dan, mukjizat paling agung yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau adalah al-Qur’an. Al-Qur’an al-Adhim adalah mukjizat agung yang memberi khitab (perintah) kepada hati dan akal fikiran, dan dia adalah mukjizat yang kekal abadi sampai hari kiamat nanti. Dan, sungguh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menantang kaumnya yang fasih (lancar dan benar tutur katanya) dan baligh (mendalam makna ucapannya) untuk membuat padanan atau tandingan yang menyerupai al-Qur’an ini, atau minimal satu surat yang menyerupainya, namun mereka tidak sanggup melakukannya. Hal ini dilakukan oleh beliau seiring dengan gencarnya permusuhan mereka yang mendorong mereka untuk menentang/melawan al-Qur’an demi untuk memusnahkan agama (Islam) ini. Akan tetapi, mereka sekali-kali tidak pernah menemukan cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Jika orang-orang Arab saja tidak sanggup membuat kitab tandingan yang menyamai al-Qur’an ini, maka tentunya selain mereka (non Arab) lebih tidak mampu lagi. Hal itu, mengingat orang-orang Arab yang merupakan obyek pertama diturunkannya al-Qur’an tersebut, adalah para pakar yang memiliki kemampuan berbahasa secara fasih dan baligh. Dan, sejarah telah mencatat bahwasanya al-Qur’an merupakan bukti kemukjizatan, maka tidak ada satu pun orang yang mengaku dirinya sanggup membuat kitab yang menyerupai al-Qur’an ini.
“Dan sesungguhnya al-Qur’an itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari (Rabb) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushshilaat: 41-42)
”Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang memang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah : 23-24)
Al-Qur’an Sebagai Pola Baru Mukjizat
Al-Qur’an adalah sebuah mukjizat yang berbeda dengan mukjizat-mukjizat para rasul seluruhnya. Karena, dia adalah mukjizat yang kekal abadi untuk selamanya, tidak akan musnah bersamaan dengan wafatnya seorang rasul yang menerimanya, sebagaimana al-Qur’an merupakan/berisi kisah tentang keadaan (kondisi) para rasul terdahulu. Dia adalah mukjizat yang memberi khitab (perintah) kepada akal fikiran dan hati, sebagaimana dia juga memberi khitab kepada fitrah manusia sepanjang masa dan tempat. Sungguh mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah mukjizat yang terbaca, yaitu al-Qur’an. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Tiadalah diantara para nabi seseorang yang diangkat nabi melainkan dia sungguh dikaruniai bukti-bukti (mukjizat) serupa yang telah dipercayai oleh manusia, sedangkan yang dikaruniakan kepadaku adalah wahyu yang diwahyukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadaku, dan aku berharap agar aku menjadi seorang diantara mereka yang paling banyak pengikutnya nanti pada hari kiamat.” [1]) 9 [1] . Muttafaq’alaih, Lihat kitab Misykaat al-Mashaabiih, 3/124
Tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk menjadikan mukjizat rasul terakhir ini berupa suatu yang inderawi (hissiyah) yang barangkali akan membuat orang yang melihatnya lupa begitu saja. Kalaupun seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak, niscaya Dia pasti menurunkan mukjizat besar yang mampu melipat-lipat leher (baca: menundukkan) orang-orang yang menyaksikannya, sehingga mereka tidak bisa lagi membantah dan mengingkari mukjizat tersebut. ” Jika Kami kehendaki niscaya Kami menurunkan kepada mereka mukjizat dari langit, maka senantiasa kuduk-kuduk mereka tunduk kepadanya.” (QS. Asy-Syu’araa:4)
Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghendaki agar kerasulan ini menjadi kerasulan yang terbuka bagi umat seluruhnya dan generasi seluruhnya, dan bukan merupakan kerasulan yang tertutup bagi generasi di suatu zaman dan tempat tertentu. Maka, dia juga merupakan mukjizat yang terbuka bagi orang dekat dan jauh, bagi seluruh umat dan seluruh generasi yang ada. Sementara, mukjizat-mukjizat lainnya hanya akan menundukkan orang-orang yang menyaksikannya saja, lalu setelah itu, dia hanya tinggal sebagai kisah yang akan diceritakan, bukan suatu realitas yang kasat mata. Inilah mukjizat Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang setelah lebih dari empat belas abad lamanya masih tetap menjadi kitab yang terbuka dan manhaj yang tertulis. Yaitu, kitab yang dijadikan pegangan/pedoman oleh umat sekarang ini sepanjang hidup mereka –-seandainya mereka diberi petunjuk untuk menjadikannya sebagai pemimpin mereka— dan kitab yang mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka dengan sempurna, serta yang menggiring mereka setelah itu (baca: kematian), ke alam yang lebih baik, cakrawala yang lebih tinggi, dan tempat persemayaman yang lebih ideal.
Beberapa Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an
Al-Qur’an bisa dikatakan mukjizat dalam semua aspek dan sudut pandangnya:
  • Dia merupakan mukjizat dalam susunan ta’bir (penuturan kalimat)nya dan dalam rangkaian seninya berdasarkan keistiqamahan atau konsistensinya terhadap satu kekhususan di dalam satu tingkatan, tidak berbeda-beda dan tidak berlapis-lapis. Dan, kekhususan-kekhususannya tersebut tidak akan terbelakang sebagaimana dia berisikan tentang keadaan perilaku-perilaku manusia. Sekalipun di sana tampak adanya peningkatan dan penurunan, kekuatan dan kelemahan dalam perilaku seseorang yang bisa berubah-ubah keadaannya, namun kekhususan-kekhususan al-Qur’an dalam konteks ta’bir ini akan tetap eksis pada satu rangkaian dan satu tingkatan, stabil dan tidak akan terbelakang, yang menunjukkan pada sumbernya yang tidak akan berbeda-beda keadaannya (konstan).
  • Dia merupakan mukjizat dalam bangunannya, dan dalam keteraturan dan saling melengkapi antar bagian-bagiannya. Maka, tidak ada kesalahan dan kerancuan (kontradiksi) di dalamnya. Setiap taujihat (arahan-arahan)nya akan saling bertemu, tersusun rapi, dan saling melengkapi, serta meliputi kehidupan manusia, mengupasnya secara tuntas, menjawab permasalahannya, dan memotivasinya, tanpa ada satu pun bagian dari manhaj sempurna ini yang bertentangan dengan bagian yang lain, dan tanpa ada sedikit pun darinya yang berbenturan dengan fitrah manusia, sekalipun fitrah manusia cenderung mengabaikannya. Semuanya diikat pada satu poros di dalam kesesuaian yang tidak mungkin terjangkau oleh pengalaman manusia yang terbatas. Dan, mesti harus ada pengetahuan bersifat komperhensif yang tidak terikat dengan waktu dan tempat, yang berada di dalam wilayah cakupannya dan peraturannya.
  • Dia merupakan mukjizat dalam hal kemudahan untuk masuk ke dalam hati dan sanubari manusia, memegang kunci-kuncinya, membuka pintu-pintu penutupnya, menampung berbagai media perasaan/emosi dan reaksi di dalamnya, serta menangani berbagai kesulitan dan problematikanya secara luwes dan mudah lagi menakjubkan, juga dalam hal mendidiknya dan mengarahkannya sesuai manhajnya dengan melalui sentuhan yang paling lunak, tanpa ada kerumitan, ketimpangan, dan kesalahan. Dan, dia juga merupakan mukjizat dalam hal pemberitahuannya tentang perkara-perkara gaib yang ada di balik alam kasunyatan (alam realita), seperti alam malaikat, jin, hari akhir, serta hal-hal gaib yang telah lalu dan yang akan datang. Dan, apa yang tersingkap oleh ilmu manusia dari sejarah manusia, juga berbagai peristiwa yang menimpanya, akan membenarkan apa yang telah dibawa oleh Nabi yang ummi ini, yang tidak bisa menulis maupun membaca kitab.
  • Dia merupakan mukjizat di dalam apa yang dikabarkan sebagai hakikat alam, yang tidak seorang pun manusia mendapat petunjuk untuk mengetahuinya, dan menyingkap sebagian rahasia-rahasianya, selain hanya satu hadis (perkataan) saja.
  • Serta, dia merupakan mukjizat di dalam syariat dan hukum-hukumnya, yaitu dalam hal kesempurnaan, kemuliaan, kelayakannya bagi manusia sepanjang masa.
Mukjizat Ilmiah Di Dalam al-Qur’an
Yang menarik di dalam al-Qur’an ini adalah bahwa kemukjizatannya akan selalu baru sepanjang zaman. Maka, setiap kaum akan sampai kepada mereka al-Qur’an ini, sehingga mereka bisa melihat kandungannya dengan mata penglihatan orang yang mencari ibrah dan mau membuka mata. Mereka akan mendapati di dalamnya tanda-tanda dan bukti-bukti yang bisa menguatkan bagi mereka bahwasanya al-Qur’an berasal langsung dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sementara kita pada saat ini mampu menghasilkan ilmu-ilmu yang dapat menyingkap sesuatu yang merupakan bagian dari rahasia-rahasia alam. Maka, kita pun meneliti galaksi (tempat-tempat bintang), peredarannya, bentuknya, dan muatannya, sebagaimana para pakar meneliti proses penciptaan makhluk beserta rahasia-rahasia di balik makhluk-makhluk tersebut. Mereka meneliti atom dan sel tubuh, serta menyelami dasar bumi dan lautan. Namun, tiba-tiba kita dikejutkan oleh tesis yang menyatakan bahwa kebanyakan hakikat yang dicapai oleh para pakar tersebut setelah melalui berbagai kajian yang panjang dan jerih payah yang meletihkan ternyata telah dibicarakan atau telah disinyalir secara jelas oleh al-Qur’an al-’Adhim sebelumnya.
Semua inilah yang semakin menambah dan memperdalam keimanan, dan membuktikan bahwa al-Qur’an al-’Adhim ini diturunkan langsung dari sisi Allah, Dzat Yang Maha Tahu, Maha Bijaksana, lagi Maha Mengetahui. Al-Qur’an ini adalah perkataan/ucapan sekaligus perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan makhluk adalah buatan dan ciptaan-Nya. Maka, jika Sang Pencipta membicarakan ciptaan-Nya, dan menuturkan sesuatu dari hakikat makhluk ciptaan-Nya tersebut, maka sudah pasti akan terjadi persesuaian antara khabar qauli (berita yang bersifat ucapan) dengan khalq kauni (penciptaan yang bersifat alamiah). Karena, ucapan tersebut adalah ucapan Allah sendiri, dan ciptaan itu pun adalah ciptaan-Nya sendiri.” Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam.” (QS.Al-”Araaf:54)
Sedangkan jiwa manusia akan sepenuhnya berserah diri manakala mengetahui rahasia-rahasia yang terlupakan yang tidak pernah diketahui oleh manusia sebelumnya. Kemudian, ternyata jiwa tersebut mendapati bahwa Nabi berkebangsaan Arab yang ummi, tidak bisa menulis, tidak bisa membaca, tidak pernah mengeyam pendidikan di perguruan tinggi, dan tidak pernah belajar pada seorang guru dari keturunan Nabi Adam ‘Alaihissalaam, membicarakan atau mensinyalir tentang hakikat ilmiah tersebut. Maka, kalau bukan al-Qur’an ini merupakan wahyu dari Sang Pencipta, niscaya Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah mampu menetapkan hakikat-hakikat samar ini, juga rahasia-rahasia tersembunyi yang tidak pernah diketahui oleh manusia sebelum masa ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,” Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qur’an) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang memgingkari(mu).” (QS. Al-’Ankabuut:48)
Pendeta Nasrani Menggunakan Teks-Teks Ilmiah Di Dalam Kitab Taurat Untuk Mengajak Orang-Orang Komunis Masuk Agama Nasrani
Seorang pendeta Nasrani telah menggunakan metode ini dalam mendakwahkan agama Nasrani. Pernah terdapat 12 mahasiswa berasal dari China yang belajar di universitas California, USA, menghadap kepada seorang pendeta yang bernama Barkeley, dan meminta kepadanya agar menyusunkan jadwal kajian mereka seputar agama Nasrani pada hari-hari minggu. Tujuan mereka di balik semua itu, adalah untuk mengenal seberapa jauh pengaruh agama terhadap kebudayaan Amerika.
Lalu, pendeta tersebut memanggil seorang ilmuwan pakar matematika dan astronomi yang bernama Prof. Peter dan Stoner, dan meminta darinya agar menangani masalah pengajaran terhadap para pemuda China tersebut.
Selanjutnya, guru besar dalam bidang matematika dan astronomi ini memilih pembahasan sifr at-takwiin (bagian kitab perjanjian lama tentang penciptaan) dari kitab Taurat. Di dalam pembahasan ini terdapat beberapa maklumat (data) yang membicarakan tentang permulaan alam (kosmos). Sang professor ini tidak mengajarkan Taurat kepada mereka dengan metode tradisional (konvensional), dan dia bersama sejumlah mahasiswa China tersebut menghabiskan musim dingin untuk mempelajari berbagai data tersebut, lalu mereka mencatat dalam setiap kajian tersebut berbagai pertanyaan yang muncul dalam benak fikiran mereka seputar apa yang mereka dengarkan. Setelah itu, mereka merujuk kepada kitab-kitab ilmiah yang ada di perpustakaan universitas untuk meneliti kebenaran yang telah dibicarakan oleh sifr at-takwiin ini. Yaitu, sebuah tahapan yang merujuk kepada kehidupan sehari-hari Nabi Musa ‘Alaihissalaam sebelum beberapa ribu tahun yang lalu. Dan, setelah melakukan berbagai kajian panjang secara kontinyu, para mahasiswa tersebut akhirnya memeluk agama Nasrani. [2] . Cobalah tengok peristiwa ini di dalam kitab “Al-Islaam Yatahaddaa” karangan Wahiduddin Khan, hal. 121, dan penulis telah menukil dari pengarang kitab tersebut di dalam kitabnya, ” The Evidence of God” P.P. 137-38.
Kita hakikatnya mengimani kitab Taurat dan Injil. Namun, ternyata teks-teks yang terkandung di dalamnya telah banyak mengalami perubahan, penyelewengan, dan penggantian redaksi, yaitu akibat upaya penerjemahan yang dilakukan secara terus-menerus dari satu bahasa ke bahasa lainnya, dan karena ulah tangan para ulama sesat yang telah menyelipkan/memasukkan di dalam kedua kitab ini sesuatu yang bukan darinya, dan sebaliknya mereka membuang dari keduanya teks-teks yang tidak berpihak kepada mereka. Maka, selebihnya adalah kebenaran yang masih tersisa di dalamnya bercampur dengan banyak sekali kebatilan. Sedangkan al-Qur’an adalah kitab samawi yang terakhir, yang tidak pernah berubah-ubah dan berganti-ganti redaksi, dan hakikat-hakikat alam yang terkandung di dalamnya pun sangat banyak dan terbukti kevalidannya.
Beberapa Contoh Dari Kemukjizatan Ilmiah Di Dalam Al-Qur’an
Sebenarnya tulisan dalam konteks semacam ini telah banyak ditulis. Namun, di sini, saya akan menyebutkan beberapa contoh saja. Diantaranya:
  • Tahapan penciptaan janin. Al-Qur’an menguraikan tahapan-tahapan ini secara terinci dan akurat, dan tidak ada diantara para ulama yang pernah mengetahui rincian-rincian ini selain baru-baru ini saja. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
    ” Hai manusia, kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur); maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari seumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu.” (QS. Al-Hajj:5)

    ” Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al-Mu’minuun: 12-14)
    Cobalah kamu merujuk kepada sumber-sumber medis yang membahas tentang penciptaan janin, apakah kamu menemukan di dalam apa yang telah dikatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita tersebut, sesuatu yang bertentangan dengan hakikat-hakikat yang telah disebutkan oleh Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui ini?
  • Kotoran yang terdapat di dalam darah haidh. “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:”Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. ” (QS. Al-Baqarah:222). Bagi para ilmuwan zaman sekarang telah nyata/terbukti, bahwa darah haidh merupakan darah rusak, yang mengandung banyak virus dan berbagai macam bakteri (kuman). Jika seseorang lelaki menggauli istrinya di tengah-tengah masa haidh, maka dikhawatirkan dia akan terkena peradangan dan penyakit-penyakit yang akan menyiksanya.
    Di samping itu, alat kelamin (organ seksual) pada wanita tersebut akan terinjeksi sewaktu haidh, khususnya rahim yang akan terinjeksi sampai mengalami hemophilia (kehabisan darah). Jika seorang lelaki menggauli istrinya, maka itu akan berakibat terkoyaknya dinding-dinding rahim wanita, hingga tersebarlah penyakit menular melalui berbagai virus yang ada pada dinding-dinding tersebut ke bagian-bagian tubuh lainnya, yang mana itu sangat berpengaruh pada kesehatan wanita tersebut. Kemudian, di sana juga terdapat kotoran dari jenis ketiga, yaitu gangguan psikis yang akan menimpa kedua pasangan suami-istri tersebut. Maka, kebanyakan lelaki dan perempuan akan dirundung rasa ketakutan dan kepanikan jiwa (nervous), yang akan berakibat pada penyakit lemah syahwat yang terkadang sangat parah.
  • Tempat urat-urat saraf yang akan merasa (sakit) bila terbakar dan tertimpa musibah. Urat-urat saraf ini hanya berada di dalam kulit saja. Karenanya, kalau seandainya usus-usus manusia diputus setelah dibelah perutnya, maka dia tidak akan merasa usus-ususnya terputus. Dan, al-Qur’an telah mensinyalir hakikat ini di dalam firman Allah yang berbunyi, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisaa:56) Dan, tidak bertentangan dengan semua ini dengan adanya manusia yang merasakan dingin dan panas di dalam usus-ususnya. Karena, yang ada di dalam kulit adalah urat-urat saraf yang merasakan sakit karena tertimpa musibah dan kebakaran. Sementara, di sana masih terdapat banyak sekali urat-urat saraf lainnya yang tersebar di dalam anggota tubuh manusia.
  • Alam yang membentang luas, “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.” (QS. Adz-Dzaariyaat:47) Kalangan mereka yang tidak pernah membaca al-Qur’an, namun mengkaji tentang ciptaan/makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan saling bertanya-tanya, “Apakah bentuk ruang angkasa yang meliputi kita ini?” Dan, sebagai jawaban dari pertanyaan ini, mesti dikatakan bahwasanya ruang angkasa tidak mempunyai bentuk tertentu, mengingat dia akan terus-menerus mengalami perluasan.
    Berkaitan dengan pembahasan ini, DR. Eddington berkata, “Bisa saja kita memberi perumpamaan pada bintang-bintang dan galaksi, dan seolah-olah mereka berdiri di atas permukaan balon karet yang ditiup secara terus menerus. Dan begitulah, bahwasanya benda-benda langit ini akan menjauh dari sebagian benda langit lainnya lebih banyak dan lebih banyak lagi, akibat adanya proses penggelembungan. Seperti suatu unsur yang terlepas dari gerakan-gerakan yang biasanya, dan dari ekses-ekses yang ditimbulkan oleh adanya daya gravitasi diantaranya.”
    Dan, setelah perkataan Prof. Eddington ini, seseorang bernama Julian berkata, “Alam ini memiliki kecenderungan alamiah untuk bertambah luas/lebar, yang kira-kira bisa menandingi daya gravitasi yang terdapat dalam suatu materi (benda)…. Sesungguhnya separoh wilayah ruang angkasa pada saat ini, tidak kurang dari sepuluh kali lipat dari separoh wilayahnya yang asli, menurut hitungan-hitungan Professor (Eddington). Dan, jumlah luas yang sebenarnya akan bertambah secara terus-menerus, …. Sedangkan jumlah pertambahannya ini akan membesar pada waktu-waktu mendatang.” [3]
  • Matahari yang berjalan di ruang angkasa. Sebelumnya terdapat dugaan kuat bahwasanya matahari berputar mengitari bumi, lalu belakangan terbukti oleh para ilmuan bahwasanya bumilah yang berputar mengitari matahari. Namun, para ilmuwan tersebut telah membuat kesalahan ketika mereka mengklaim bahwasanya matahari tersebut diam (tidak bergerak). Terakhir kali, nyatalah bagi mereka bahwasanya matahari berjalan dengan kecepatan yang luar biasa. Dan, ungkapan yang paling sesuai berkenaan dengan gerakannya ini, adalah “berlari”. Maha Benar Allah Subhanahu wa Ta’ala, ketika mengatakan, “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya.Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yaasiin:38)
  • Di dalam madu terdapat kesembuhan bagi manusia. Belum sampai tiga puluh tahun lamanya, di Amerika beredar isu bahwasanya madu bisa menularkan kuman (bibit penyakit). Dan, bahkan belum terlihat manfaat-manfaat madu secara medis oleh para ilmuan, kecuali baru-baru ini saja. Dan , kini, madu terdapat di dalam lebih dari lima puluh obat, dan telah terbukti bagi para dokter bahwasanya madu bisa membunuh kuman. Maka, tidak ada satu pun kuman yang bisa hidup di dalamnya. Juga, telah terbukti bagi mereka bahwasanya madu merupakan obat yang bagus bagi umumnya jenis penyakit, seperti kekurangan darah (anemia), penyakit paru-paru, penyakit alat/saluran pernafasan, penyakit mata, penyakit kulit, dan masih banyak lagi yang lainnya. [4] Maha Benar Allah Subhanahu wa Ta’ala, ketika mengatakan,”Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.” (QS. An-Nahl: 69)

sejarah pengumpulan al-quran

Sejarah Pengumpulan dan Pembukuan Al-Qur'an


KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh dan salam sejahtera untuk kita semua, semoga apa yang kita lakukan pada kesempatan kali ini bernilai ibadah disisi Allah swt. Salawat dan salam kita kirimkan atas junjungan Nabi Muhammad saw yang telah membawa perubahan dari dunia kegelapan menjadi dunia yang terang bercahaya.
Makalah dengan judul “Kodifikasi atau Jam’ul Qur’an” yang ada dihadapan peserta seminar ini disusun berdasarkan petunjuk dosen pembimbing dalam mata Kuliah “Pendekatan dalam Pengkajian Islam I” dengan mengkaji berbagai jenis literatur yang terkait dengan pengkajian Islam, termasuk kajian khusus mengenai Ulumul Qur’an. Makalah ini mengurai sejarah pengumpulan hingga pembukuan Al-Qur’an menjadi sebuah mushaf resmi yang berlaku universal.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk kita semua, terutama kepada pemakalah. Namun pemakalah menyadari bahwa karya ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, olehnya itu, jika terdapat hal-hal yang dianggap kurang atau keliru dalam hal penulisan ataupun penyampaian lisan, maka penyusun makalah tidak menutup diri untuk menerima saran ataupun kritik yang sifatnya membangun untuk perbaikan tugas-tugas selanjutnya.
Akhirnya penyusun mengucapkan terima kasih
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Makassar, 7 Juli 2012
Pemakalah,




Abdul Haris Mubara



ii
 
 
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latarbelakang Masalah
Pada Zaman Rasulullah, Ayat Al-Qur’an tidak dikumpulkan atau dibukunan seperti sekarang. Namun disebabkan beberapa faktor, maka ayat Al-Qur’an dimulai dikumpulkan atau dibukukan, yaitu dikumpulkan didalam satu Mushaf.[1] Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi hanya dilakukan pada dua cara yaitu dituliskan melalui benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelapah kurma, tulang binatang dan lain-lain.[2] Tulisan-tulisan dari benda-benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan beberapa diantaranya menjadi koleksi pribadi sahabat yang pandai baca tulis. Tulisan-tulisan melalui benda yang berbeda tersebut memang dimiliki oleh Rasulullah namun tidak tersusun sebagaimana mushaf yang sekarang ini. Pemeliharaan ayat-ayat Al-Qur’an juga dilakukan melalui hafalan baik oleh Rasulullah maupun oleh sahabat-sahabat beliau.
Peninggalan Nabi pun hanya mewariskan dokument tulisan dari benda-benda sebagaimana tersebut di atas yang kemudian dipindahkan kepada Khalifah Abu Bakar As-Siddiq yang tidak lengkap. Berangkat dari bayaknya sahabat nabi yang tewas dalam peperangan (dikenal dengan perang yamamah) sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa jumlah penghafal Al-Qur’an yang tewas pada peperangan tersebut mecapai 70 orang. Olehnya itu muncul inisiatif dari Umar bin Khattab untuk membukukan Al-Qur’an, lalu disampaikanlah niatnya itu pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun tidak langsung disetujui oleh Khalifah Abu Bakar, namun alasan Umar bin Khattab bisa diterima dan dimulailah pengumpulan Al-Qur’an hingga rampung.[3] Dengan demikian, disusunlah kepanitiaan atau Tim penghimpun Al-Qur’an yang terdiri atas Zaid bin Tsabit sebagai ketua dibantu oleh Ubay bin Ka’ab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan para Sahabat lainnya sebagai Anggota.[4] Namun dengan rentan waktu yang panjang, mulai pada tanggal 12 Rabbiul Awwal tahun 11 H/632 M yang ditandai dengan wafatnya Rasulullah, hingga 23-35 H/644-656 M (masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan) atau sekitar 18 tahun setelah wafatnya nabi barulah dibukukan Al-Qur’an yang dikenal dengan Mushaf Utsmani. Antara rentan waktu yang cukup panjang hingga beragam suku dan dialek apakah berpengaruh atas penyusunan kitab suci Al-Qur’an tentunya masih menjadi tanda tanya.
2
 
Sementara pandangan seperti di atas, umat Islam di Seluruh Dunia meyakini bahwa Al-Qur’an seperti yang ada pada kita sekarang ini adalah otentik dari Allah swt. melalui Rasulullah saw., namun cukup menarik, semua riwayat mengatakan bahwa pembukuan kitab suci itu tidak dimulai oleh Rasulullah saw., melainkan oleh para sahabat beliau, dalam hal ini khususnya Abu Bakar, Umar Bin Khattab dan Usman Bin Affan.[5]
Pesan komunikasi yang telah melewati perantara dari seorang tertahap orang lain, terlebih melewati frekuensi jumlah orang yang banyak akan meragukan keabshahan pesan alsi tersebut. Selain itu, rentan waktu yang cukup lama juga amat berpengaruh terhadap nilai dari pesan. Yang menarik adalah seperti apa membuktikan bahwa pesan Al-Qur’an adalah sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan ketetapan Allah!.

B.       Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian di atas, maka dapat ditarik suatu permasalahan yaitu mengapa Al-Qur’an baru dibukukan pada masa Khalifah Usman bin Affan yang kemudian dikenal dengan Mushaf Usmani? Dari permasalah di atas, maka dapat dirumuskan sub masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana Al-Qur’an dikumpulkan untuk dibukukan?
2.      Atas dasar apa pembukuan Al-Qur’an dilakukan?

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pemeliharaan dan Pengumpulan Al-Qur’an hingga dibukukan.
Al-Qur`an merupakan kumpulan firman yang diberikan Allah sebagai satu kesatuan kitab sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat muslim. Menurut syariat Islam, kitab ini dinyatakan sebagai kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, selalu terjaga dari kesalahan, dan merupakan tuntunan membentuk ketaqwaan manusia.[6] Kumpulan firman (ayat-ayat Al-Qur’an) tersebut juga dikenal dengan Istilah Mushaf atau kumpulan dari suhuf-suhuf atau lembaran-lembaran tertulis yang disatukan.
Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf, telah melalui proses panjang. Mulai dari Ayat yang pertama turun sampai ayat yang terakhir turun, benar-benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya tersebut dengan cara yang sederhana yaitu Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan Nabi.[7]
Penguatan dokumen ayat-ayat Al-Qur’an pada masa Nabi dilakukan dengan Naskah-naskah yang dituliskan untuk Nabi atas Perintah Nabi, Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing serta Hafalan dari mereka yang hafal Al-Qur’an.[8]
3
 
Untuk Nabi sendiri, juga menghafal Al-Qur’an dan dipandu langsung oleh Jibril (repetisi) sekali setahun. Diwaktu ulangan itu, Rasulullah disuruh mengulang memperdengarkan Al-Qur’an yag telah diturunkan. Nabi sendiri sering mengadakan ulangan itu terhadap sahabat-sahabatnya, maka sahabat-sahabat itu disuruh oleh beliau membaca Al-Qur’an dihadapan beliau dengan tujuan membetulkan bacaan mereka jika ada yang salah.[9]
4
 
Tentang penulisan wahyu pada masa Rasulullah, ada informasi yang cukup ekstensif mengenai bahan-bahan yang digunakan sebagai media untuk menuliskan wahyu yang turun dari langit melalui Muhammad saw. Dalam suatu cacatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang ketika itu digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad,[10] yaitu:
1.      Riqa, atau lembaran lontar atau perkamen;
2.      Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara horizontal lantaran panas;
3.      ‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis;
4.      Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta;
5.      Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta;
6.      Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan utama untuk menulis ketika itu.
Melalui data tertulis pada media seperti di atas, salah satu sumber mengatakan bahwa sebelum Mushaf seperti yang kita gunakan sekarang untuk seluruh umat Islam ternyata banyak versi yang hampir susunannya berbeda maupun kronologis turunnya ayat. Secara umum, Mushaf-mushaf tersebut dibagi berdasarkan Mushaf-Mushaf Primer dan Mushaf-mushaf sekunder. Mushaf primer adalah mushaf Independen yang dikumpulkan secara individual oleh sejumlah sahabat nabi sedangkan mushaf sekunder adalah mushaf generasi selanjutnya yang bergantung pada mushaf primer. Mushaf-mushaf tersebu adalah, Mushaf-mushaf primer yang dimiliki oleh Mushaf Salim ibn Ma’qil, Mushaf Umar bin Khattab, Mushaf Ubai bin Ka’ab, Mushaf Ibn Mas’ud, Mushaf Ali bin Abi Thalib, Mushaf Abu Musa al-Asy’ari, Mushaf Hafsah binti Umar, Mushaf Zayd ibn Tsabit, Mushaf Aisyah binti Abu Bakar, Mushaf Ummu Salamah, Mushaf Abd Allah ibn Amr, Mushaf Ibnu Abbas, Mushab ibn Zubayr, Mushaf Ubayd ibn ‘Umair dan Mushaf Anas ibn Malik yang kesemuanya berjumlah 15 versi mushaf. Sementara itu, juga terdapat 13 jumlah mushaf sekunder. Diantara mushaf-mushaf tersebut  adalah Mushaf Alqama bin Qais, Mushaf Al-Rabi’ Ibn Khutsaim, Mushaf Al-Haris ibn Suwaid, Mushaf Al-Aswad ibn Yazid, Mushaf Hithan, Mushaf Thalhah ibn Musharrif, Mushaf Al-A’masy, Mushaf Sa’id ibn Jubair, Mushaf Mujahid, Mushaf Ikrimah, Mushaf Atha’ Ibn Abi Rabah, Mushaf Shalih Ibn Kaisan dan Mushaf Ja’far al-Shadiq.[11]
5
 
Data yang didapatkan adalah setiap sahabat yang memiliki mushaf ternyata selalu ada perbedaan penempatan urutan surat, kaidah bacaan yang berbeda begitupun catatan tentang kronologis turunnya ayat. Salah satu contoh perbedaan mushaf tersebut adalah Ibn al-Nadim mendaftar jumlah seluruh surat yang ada di mushaf Ibn Mas’ud 110, tetapi yang ditulis dalam al-Fihrist hanya 105 surat. Selain 3 surat di atas, surat al-Hijr, al-Kahfi, Toha, al-Naml, al-Syura, al-Zalzalah tidak disebutkan. Tetapi keenam surat yang akhir ini ditemukan dalam al-Itqan, justru yang tidak ada dalam daftar al-Suyuthi adalah surat Qaf, al-Hadid, al-Haqqah, dan 3 surat yang disebutkan di atas, sehingga menurut daftar al-Suyuthi berjumlah 108 surat. Diduga kuat perbedaan laporan ini kesalahan penulisan belaka, karena keenam surat yang hilang dalam al-Fihrist ditemukan dalam al-Itqan, begitu juga dengan 3 surat yang tidak ada dalam al-Itqan.[12] Contoh lain dapat dilihat pada Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an karya Taufik Adnan Amal  yang secara rinci memperlihatkan data-data dalam bentuk tabel dan naratif mengenai perbedaan mushaf tersebut. Pembahasan yang menampilakan uraian tentang mushaf-mushaf yang ada sebelum Mushaf Utsman bin Affan tersebut terletak pada halaman 157 sampai 195.
Lantaran keadaan yang berbeda berdasarkan latarbelakang masing-masing sahabat, termasuk perbedaan suku yang menyebabkan dialeg juga berbeda merupakan salah satu sebab adanya Penyatuan Mushaf. Ditambah faktor-faktor eksternal, misalnya karena banyaknya sahabat-sahabat penghafal yang gugur dalam medan perang. Berangkat dari persoalan tersebut, Umar bin Khattab mengadukan persoalan ini pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun pada awalnya ditolak, namun karena usaha yang serius sehingga pada masa itu dibentuk kepanitiaan dalam mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an yang telah dikumpulkan tersebut baru dibukukan pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan.
6
 

B.       Pembukuan Al-Qur’an
Sebagaimana telah dibahas di atas bahwa pengumpulan (dalam artian usaha atau upaya pemeliharaan) Al-Qur’an telah dilakukan sejak Nabi Muhammad saw. Media pengumpulan Al-Qur’an dilakukan melalui Tulisan pada beberapa benda berupa batu licin, pelapa kurma, kulit kayu dan lain-lain yang ditulis khusus untuk Nabi. Dokumen yang dikumpulkan tersebut diperkuat oleh beberapa tulisan lain yang dikoleksi oleh sahabat-sahabat Nabi untuk diri mereka sendiri. Disamping itu, hapalan sahabat-sahabat yang dipandu langsung oleh Nabi juga menjadi penguat keabsahan dokumen Al-Qur’an sebagai suatu kitab yang utuh.[13]
Pembukuan Al-Qur’an dilakukan secara tersusun berdasarkan Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas dari Utsman bin Affan bahwa apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil sekretaris untuk menuliskannya, kemudian bersabda “letakkanlah ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini atau begitu”.[14] Pembukuan Al-Qur’an tersebut tidak disusun berdasarkan kronologis turunnya wahyu.
Upaya pembukuan Al-Qur’an melalui satu versi bacaan untuk seluruh umat Islam dilatar belakangi oleh karena di setiap wilayah terkenal qira’ah sahabat yang mengajarkan Alquran kepada setiap penduduk di wilayah tersebut. Penduduk Syam memakai qira’ah Ubay bin Ka‘b, yang lainnya lagi memakai qira’ah Abu Musa al-Asy’ary. Maka tidak diragukan timbul perbedaan bentuk qira’ah di kalangan mereka, sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri. Bahkan terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan perbedaan qira’ah tersebut.
7
 
Itulah sebabnya Khalifah ‘Utsman kemudian berpikir dan merencanakan untuk mengambil langkah-langkah positif sebelum perbedaan-perbadaan bacaan itu lebih meluas. Usaha awal yang dilakukannya adalah mengumpulkan para sahabat yang alim dan jenius  serta mereka yang terkenal pandai memadamkan dan meredakan persengketaan itu. Mereka sepakat menerima instruksi ‘Utsman, yakni membuat Mushaf yang banyak, lalu membagi-bagikannya ke setiap pelosok dan kota, sekaligus memerintahkan pembakaran selain Mushaf  itu, sehingga tidak ada lagi celah yang menjerumuskan mereka ke persengketaan dalam bentuk-bentuk qira’ah.
Karena itulah pulalah, ‘Utsman mengirim utusan kepada Hafshah guna meminjam Mushaf yang terwariskan dari ‘Umar. Dari Mushhaf  tersebut, lalu dipilihnya tokoh andal dari kalangan senior sahabat untuk memulai rencananya. Pilihannya jatuh kepada Zayd bin Stabit, ‘Abdullah bin Zubayr, Sai‘id bin ‘Ash dan ‘Abdurrahman bin Hisyam mereka dari suku Quraisy, golongan Muhajirin, kecuali Zayd bin Tsabit, ia golongan Anshar. Usaha yang mulia ini berlangsung pada tahun 24 H. Sebelum memulai tugas ini, ‘Utsman berpesan kepada mereka :
إِذَا اِخْتَلَفْتُمْ اَنْتُمْ وَزَيْدٌ بِنْ ثَابِتْ فِى شَيْئٍ، فَكْتُبُوْهُ بِلِسِانِ قُرَيْشٍ، فَإِنَّهُ إِنَّمَا نَزَّلَ بِلِسَانِهِمْ
Terjemahnya : Jika kalian berselisih pendapat dalam qira’ah dengan Zayd bin Stabit, maka hendaklah kalian menuliskannya dengan lughat Quraisy, karena sesungguhnya Alquran diturunkan dengan bahasa mereka.[15]
Setelah memahami pesan di atas, bekerjalah tim ini dengan ekstra hati-hati, yang kemudian melahirkan satu Mushaf  yang satu dan dianggap sempuna. Mushhaf  ini digandakan dan dikirim ke daerah-daerah untuk disosialsikan kepada masyarakat demi meredam perbedaan bacaan di antara mereka. Sedangkan Mushhaf  yang lainnya dibakar, kecuali yang dimiliki Hafshah dikembalikan kepadanya.
8
 
Mengenai sistematika surat dalam Al-Qur’an, apakah taqifi atau taufiqi menjadi perdebatan sejak dahulu dan perdebatan tersebut belum berakhir pada saat ini. Pendapat yang pertama, bahwa Al-Qur’an adalah hasil tauqif Nabi artinya susunan atau ututan surat didapat melalui ajaran beliau. Pendapat yang pertama ini berdasarkan ungkapan Ibnu Al-Hasshar yang dikutip dari buku karya Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA. mengatakan “urutan surat dan letak ayat-ayat pada tempatnya itu berdasarkan wahyu”. Rasulullah saw. Letakkan ayat ini pada tempat ini.[16]
Pendapat yang kedua yaitu pandangan yang mengatakan bahwa urutan surat Al-Qur’an adalah berdasarkan Ijtihad sahabat. Pendapat ini disandarkan pada banyaknya mushaf yang dimiliki oleh sahabat yang berbeda, ada yang tertib urutannya seperti mushaf yang dikenal saat sekarang ini, ada pula yang tertibnya berdasarkan kronologis turunnya ayat.[17] Pendapat yang kedua ini juga diperkuat oleh Teks Hadist Mutawatir mengemukakan mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
Sebagai rujukan, Ibnu Abbas Radiallahu Anhuma berkata, sebagaimana dikutif  dari karya Syaikh Manna’ Al-Qaththan dengan Judul Pengatar Study Ilmu Al-Qur’an bahwa; Rasulullah saw. Bersabda.[18]
“Jibril membacaka kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, iapun menambahkannya kepadaku hingga tujuh huruf”
Dalam riwayat lain, disebutkan Umar bin Al-Khattab , ia berkata, “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqan dimasa hidup rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja saya melabraknya saat ia sholat tetapi aku urungkan. Maka aku menunggunya hingga ia selesai sholat. Begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, “siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?” ia menjawab, Rasulullah yang membacakannya kepadaku. Lalu aku katakan kepadanya kamu dusta! Demi Allah, Rasulullah telah membacakannya juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu. Namun ketika masalah ini diperhadapkan kepada Rasulullah saw. Rasulullah membenarkan apa yang dibacakan oleh sahabat berdarakan qiraat yang paling mudah dipahami. Rasulullah saw. Berkata “begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu diantaranya”.[19]
9
 
Dapatlah dipahami bahwa penulisan teks-teks Alquran pada masa Utsman merupakan masa pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam berbagai kevariasian dalam pembacaannya. Berkat usaha Utsman inilah, Alquran yang terwariskan sampai saat ini biasa pula disebut dengan Mushaf Utsmani.

BAB III
PENUTUP
Sebagai catatan penutup tentang sejarah penumpulan atau kodifikasi al-Qur’an ini, poin penting sebagai jawaban atas permasalahan (Rumusan Masalah) tersebu di atas adalah sebagai berikut:
1.      Pengkodifikasian dan penulisan Alquran pada masa Nabi saw terkumpul dalam hapalan dan ingatan, serta catatan yang masih berserakan. Pada masa Abu Bakar, di samping terkumpul dalam hapalan, juga dikumpulkan shahifah-shahifah yang terpisah-pisah. Kemudian pada masa Umar, shahifah-shahifah tersebut ditulis dalam satu mushhaf. Selanjutnya, pada masa ‘Utsman, semua hapalan sahabat dan Mushhaf yang diwariskan oleh Umar, ditata ulang dan dicatat dalam satu dialek qira’ah yang melahirkan suatu Mushhaf disebut dengan Mushhaf Imam.
2.      Dapatlah dipahami bahwa penulisan teks-teks Alquran pada masa Utsman merupakan masa pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam berbagai kevariasiaan dalam pembacaannya.
Demikianlah Penyusunan makalah ini disusun, sebagai cacatan penutup bahwa pemakalah menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan pada karya tulis ini, olehnya itu pemakalah berharap agar ada kritik, saran atau masukan yang sifatnya membangun untuk perbaikan makalah ini. Ucapan terima kasih kepada Dosen pembimbing mata kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam  serta teman-teman peserta seminar yang telah mengikuti seminar ini dengan serius, terakhir adalah permohonan maaf jika sekiranya apa yang disajikan oleh pemakalah, terdapat kekurangan dan kekeliruan didalamnya.
10
 

Daftar Pustaka

Adnan Amal, Taufik, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Cet. I; Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta. Tahun 2001
Al-Qathnhan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilu Al-Qur’an, Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, Pebruari 2012.
Atang, Abdul Hakim, Methodologi Study Islam, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002.
Ensiklopedia Untuk Anak-anak Muslim, Grasindo
Http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Allah, Wikipedia – Ensiklopedia Bebas (Kitab Allah), 19 Mei 2012.
Khalid, H.M. Rusdi, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet I; Alauddin Universiti Press, Makassar 2011
Majid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban (Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah), Cet. II; Paramadina, Jakarta. 2000.
Manna’ al-Qaththan Mabahits Fiy ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, t.th.).
11
 
Umar, H. Nasaruddin .Ulumul Qur’an (mengungkap makna-makna tersembunyi Al-Qur’an), Jakarta, Al-Gazali Centre, Juli 2008.
www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com