Sejarah Pengumpulan dan Pembukuan Al-Qur'an
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu alaikum
warahmatullahi wabarakatuh dan salam sejahtera untuk kita semua, semoga apa
yang kita lakukan pada kesempatan kali ini bernilai ibadah disisi Allah swt.
Salawat dan salam kita kirimkan atas junjungan Nabi Muhammad saw yang telah
membawa perubahan dari dunia kegelapan menjadi dunia yang terang bercahaya.
Makalah dengan judul
“Kodifikasi atau Jam’ul Qur’an”
yang ada dihadapan peserta seminar ini disusun
berdasarkan petunjuk dosen pembimbing dalam mata Kuliah “Pendekatan dalam
Pengkajian Islam I” dengan mengkaji berbagai jenis literatur yang terkait
dengan pengkajian Islam, termasuk kajian khusus mengenai Ulumul Qur’an. Makalah
ini mengurai sejarah pengumpulan hingga pembukuan Al-Qur’an menjadi sebuah
mushaf resmi yang berlaku universal.
Semoga makalah ini bisa
bermanfaat untuk kita semua, terutama kepada pemakalah. Namun pemakalah
menyadari bahwa karya ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, olehnya itu,
jika terdapat hal-hal yang dianggap kurang atau keliru dalam hal penulisan
ataupun penyampaian lisan, maka penyusun makalah tidak menutup diri untuk
menerima saran ataupun kritik yang sifatnya membangun untuk perbaikan
tugas-tugas selanjutnya.
Akhirnya penyusun
mengucapkan terima kasih
Wassalamu alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Makassar,
7 Juli 2012
Pemakalah,
Abdul Haris Mubara
|
|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah
Pada Zaman Rasulullah, Ayat Al-Qur’an tidak dikumpulkan atau dibukunan
seperti sekarang. Namun disebabkan beberapa faktor, maka ayat Al-Qur’an dimulai
dikumpulkan atau dibukukan, yaitu dikumpulkan didalam satu Mushaf.[1]
Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi hanya dilakukan pada dua cara yaitu
dituliskan melalui benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelapah
kurma, tulang binatang dan lain-lain.[2]
Tulisan-tulisan dari benda-benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan beberapa
diantaranya menjadi koleksi pribadi sahabat yang pandai baca tulis.
Tulisan-tulisan melalui benda yang berbeda tersebut memang dimiliki oleh
Rasulullah namun tidak tersusun sebagaimana mushaf yang sekarang ini.
Pemeliharaan ayat-ayat Al-Qur’an juga dilakukan melalui hafalan baik oleh
Rasulullah maupun oleh sahabat-sahabat beliau.
Peninggalan Nabi pun hanya mewariskan dokument tulisan
dari benda-benda sebagaimana tersebut di atas yang kemudian dipindahkan kepada
Khalifah Abu Bakar As-Siddiq yang tidak lengkap. Berangkat dari bayaknya
sahabat nabi yang tewas dalam peperangan (dikenal
dengan perang yamamah) sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa jumlah
penghafal Al-Qur’an yang tewas pada peperangan tersebut mecapai 70 orang.
Olehnya itu muncul inisiatif dari Umar bin Khattab untuk membukukan Al-Qur’an,
lalu disampaikanlah niatnya itu pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun tidak langsung
disetujui oleh Khalifah Abu Bakar, namun alasan Umar bin Khattab bisa diterima
dan dimulailah pengumpulan Al-Qur’an hingga rampung.[3] Dengan
demikian, disusunlah kepanitiaan atau Tim penghimpun
Al-Qur’an yang terdiri atas Zaid bin Tsabit sebagai ketua dibantu oleh Ubay bin
Ka’ab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan para Sahabat lainnya sebagai
Anggota.[4]
Namun dengan rentan waktu
yang panjang, mulai pada tanggal 12 Rabbiul Awwal tahun 11 H/632 M yang
ditandai dengan wafatnya Rasulullah, hingga 23-35 H/644-656 M (masa
pemerintahan Khalifah Usman bin Affan) atau sekitar 18 tahun setelah wafatnya
nabi barulah dibukukan Al-Qur’an yang dikenal dengan Mushaf Utsmani. Antara rentan waktu yang cukup panjang hingga
beragam suku dan dialek apakah berpengaruh atas penyusunan kitab suci Al-Qur’an
tentunya masih menjadi tanda tanya.
|
Pesan komunikasi yang telah melewati perantara dari
seorang tertahap orang lain, terlebih melewati frekuensi jumlah orang yang
banyak akan meragukan keabshahan pesan alsi tersebut. Selain itu, rentan waktu
yang cukup lama juga amat berpengaruh terhadap nilai dari pesan. Yang menarik
adalah seperti apa membuktikan bahwa pesan Al-Qur’an adalah sesuatu yang telah
ditetapkan berdasarkan ketetapan Allah!.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian di atas, maka dapat ditarik
suatu permasalahan yaitu mengapa Al-Qur’an baru dibukukan pada masa Khalifah
Usman bin Affan yang kemudian dikenal dengan Mushaf Usmani? Dari permasalah di
atas, maka dapat dirumuskan sub masalah sebagai berikut.
1.
Bagaimana Al-Qur’an dikumpulkan untuk dibukukan?
2.
Atas dasar apa pembukuan Al-Qur’an dilakukan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemeliharaan dan Pengumpulan Al-Qur’an hingga
dibukukan.
Al-Qur`an
merupakan kumpulan firman yang diberikan Allah sebagai satu kesatuan kitab
sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat muslim. Menurut syariat Islam, kitab
ini dinyatakan sebagai kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, selalu
terjaga dari kesalahan, dan merupakan tuntunan membentuk ketaqwaan manusia.[6] Kumpulan firman (ayat-ayat Al-Qur’an) tersebut juga
dikenal dengan Istilah Mushaf atau kumpulan dari suhuf-suhuf atau
lembaran-lembaran tertulis yang disatukan.
Sejak
awal pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf, telah melalui proses
panjang. Mulai dari Ayat yang pertama turun sampai ayat yang terakhir turun,
benar-benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat
agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan terus-menerus dilakukan.
Upaya-upaya tersebut dengan cara yang sederhana yaitu Nabi Menghafal Ayat-ayat
itu dan menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian juga menghafalnya
sesuai dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam
dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan
persetujuan Nabi.[7]
Penguatan
dokumen ayat-ayat Al-Qur’an pada masa Nabi dilakukan dengan Naskah-naskah yang
dituliskan untuk Nabi atas Perintah Nabi, Naskah-naskah yang ditulis oleh
mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing serta Hafalan
dari mereka yang hafal Al-Qur’an.[8]
|
|
1. Riqa, atau lembaran lontar atau perkamen;
2. Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang
terbelah secara horizontal lantaran panas;
3. ‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang
tipis;
4. Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta;
5. Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta;
6. Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan
bahan utama untuk menulis ketika itu.
Melalui data tertulis pada media seperti di atas, salah satu sumber
mengatakan bahwa sebelum Mushaf seperti yang kita gunakan sekarang untuk
seluruh umat Islam ternyata banyak versi yang hampir susunannya berbeda maupun kronologis
turunnya ayat. Secara umum, Mushaf-mushaf tersebut dibagi berdasarkan
Mushaf-Mushaf Primer dan Mushaf-mushaf sekunder. Mushaf primer adalah mushaf
Independen yang dikumpulkan secara individual oleh sejumlah sahabat nabi sedangkan
mushaf sekunder adalah mushaf generasi selanjutnya yang bergantung pada mushaf
primer. Mushaf-mushaf tersebu adalah, Mushaf-mushaf primer yang dimiliki oleh
Mushaf Salim ibn Ma’qil, Mushaf Umar bin Khattab, Mushaf Ubai bin Ka’ab, Mushaf
Ibn Mas’ud, Mushaf Ali bin Abi Thalib, Mushaf Abu Musa al-Asy’ari, Mushaf
Hafsah binti Umar, Mushaf Zayd ibn Tsabit, Mushaf Aisyah binti Abu Bakar,
Mushaf Ummu Salamah, Mushaf Abd Allah ibn Amr, Mushaf Ibnu Abbas, Mushab ibn
Zubayr, Mushaf Ubayd ibn ‘Umair dan Mushaf Anas ibn Malik yang kesemuanya
berjumlah 15 versi mushaf. Sementara itu, juga terdapat 13 jumlah mushaf
sekunder. Diantara mushaf-mushaf tersebut
adalah Mushaf Alqama bin Qais, Mushaf Al-Rabi’ Ibn Khutsaim, Mushaf
Al-Haris ibn Suwaid, Mushaf Al-Aswad ibn Yazid, Mushaf Hithan, Mushaf Thalhah
ibn Musharrif, Mushaf Al-A’masy, Mushaf Sa’id ibn Jubair, Mushaf Mujahid,
Mushaf Ikrimah, Mushaf Atha’ Ibn Abi Rabah, Mushaf Shalih Ibn Kaisan dan Mushaf
Ja’far al-Shadiq.[11]
|
Lantaran keadaan yang berbeda berdasarkan
latarbelakang masing-masing sahabat, termasuk perbedaan suku yang menyebabkan
dialeg juga berbeda merupakan salah satu sebab adanya Penyatuan Mushaf.
Ditambah faktor-faktor eksternal, misalnya karena banyaknya sahabat-sahabat
penghafal yang gugur dalam medan perang. Berangkat dari persoalan tersebut,
Umar bin Khattab mengadukan persoalan ini pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun
pada awalnya ditolak, namun karena usaha yang serius sehingga pada masa itu
dibentuk kepanitiaan dalam mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an yang
telah dikumpulkan tersebut baru dibukukan pada masa kepemimpinan Khalifah
Utsman bin Affan.
|
B. Pembukuan Al-Qur’an
Sebagaimana telah dibahas di atas bahwa pengumpulan (dalam
artian usaha atau upaya pemeliharaan) Al-Qur’an telah dilakukan sejak Nabi
Muhammad saw. Media pengumpulan Al-Qur’an dilakukan melalui Tulisan pada
beberapa benda berupa batu licin, pelapa kurma, kulit kayu dan lain-lain yang
ditulis khusus untuk Nabi. Dokumen yang dikumpulkan tersebut diperkuat oleh
beberapa tulisan lain yang dikoleksi oleh sahabat-sahabat Nabi untuk diri
mereka sendiri. Disamping itu, hapalan sahabat-sahabat yang dipandu langsung
oleh Nabi juga menjadi penguat keabsahan dokumen Al-Qur’an sebagai suatu kitab
yang utuh.[13]
Pembukuan Al-Qur’an dilakukan secara tersusun
berdasarkan Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas dari Utsman bin Affan
bahwa apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil sekretaris untuk
menuliskannya, kemudian bersabda “letakkanlah ayat ini dalam surat yang
menyebutkan begini atau begitu”.[14]
Pembukuan Al-Qur’an tersebut tidak disusun berdasarkan kronologis turunnya
wahyu.
Upaya pembukuan Al-Qur’an melalui satu versi bacaan untuk seluruh umat
Islam dilatar belakangi oleh karena di setiap wilayah terkenal qira’ah sahabat
yang mengajarkan Alquran kepada setiap penduduk di wilayah tersebut. Penduduk
Syam memakai qira’ah Ubay bin Ka‘b, yang lainnya lagi memakai qira’ah
Abu Musa al-Asy’ary. Maka tidak diragukan timbul perbedaan bentuk qira’ah
di kalangan mereka, sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di
antara mereka sendiri. Bahkan terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian
yang lain, disebabkan perbedaan qira’ah tersebut.
|
Karena
itulah pulalah, ‘Utsman mengirim utusan kepada Hafshah
guna meminjam Mushaf yang terwariskan dari ‘Umar. Dari Mushhaf tersebut, lalu dipilihnya tokoh andal
dari kalangan senior sahabat untuk memulai rencananya. Pilihannya jatuh kepada
Zayd bin Stabit, ‘Abdullah bin Zubayr, Sai‘id bin ‘Ash dan ‘Abdurrahman bin
Hisyam mereka dari suku Quraisy, golongan Muhajirin, kecuali Zayd bin Tsabit,
ia golongan Anshar. Usaha yang mulia ini berlangsung pada tahun 24 H. Sebelum
memulai tugas ini, ‘Utsman berpesan kepada mereka :
إِذَا اِخْتَلَفْتُمْ اَنْتُمْ وَزَيْدٌ
بِنْ ثَابِتْ فِى شَيْئٍ، فَكْتُبُوْهُ بِلِسِانِ قُرَيْشٍ، فَإِنَّهُ إِنَّمَا
نَزَّلَ بِلِسَانِهِمْ
Terjemahnya : Jika kalian berselisih
pendapat dalam qira’ah dengan
Zayd bin Stabit, maka hendaklah kalian menuliskannya dengan lughat Quraisy, karena sesungguhnya
Alquran diturunkan dengan bahasa mereka.[15]
Setelah
memahami pesan di atas, bekerjalah tim ini dengan ekstra hati-hati, yang
kemudian melahirkan satu Mushaf yang
satu dan dianggap sempuna. Mushhaf ini digandakan dan dikirim ke daerah-daerah
untuk disosialsikan kepada masyarakat demi meredam perbedaan bacaan di antara
mereka. Sedangkan Mushhaf yang
lainnya dibakar, kecuali yang dimiliki Hafshah dikembalikan kepadanya.
|
Pendapat yang kedua yaitu pandangan yang mengatakan bahwa urutan surat
Al-Qur’an adalah berdasarkan Ijtihad sahabat. Pendapat ini disandarkan pada
banyaknya mushaf yang dimiliki oleh sahabat yang berbeda, ada yang tertib
urutannya seperti mushaf yang dikenal saat sekarang ini, ada pula yang
tertibnya berdasarkan kronologis turunnya ayat.[17]
Pendapat yang kedua ini juga diperkuat oleh Teks Hadist Mutawatir mengemukakan
mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
Sebagai rujukan, Ibnu Abbas Radiallahu Anhuma berkata,
sebagaimana dikutif dari karya Syaikh
Manna’ Al-Qaththan dengan Judul Pengatar Study Ilmu Al-Qur’an bahwa; Rasulullah
saw. Bersabda.[18]
“Jibril membacaka kepadaku dengan satu huruf. Kemudian
berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, iapun menambahkannya
kepadaku hingga tujuh huruf”
Dalam riwayat lain, disebutkan Umar bin Al-Khattab , ia berkata, “Aku
mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqan dimasa hidup rasulullah. Aku
perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum
pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja saya melabraknya
saat ia sholat tetapi aku urungkan. Maka aku menunggunya hingga ia selesai
sholat. Begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, “siapakah
yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?” ia menjawab, Rasulullah yang
membacakannya kepadaku. Lalu aku katakan kepadanya kamu dusta! Demi Allah,
Rasulullah telah membacakannya juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak
seperti bacaanmu. Namun ketika masalah ini diperhadapkan kepada Rasulullah saw.
Rasulullah membenarkan apa yang dibacakan oleh sahabat berdarakan qiraat yang
paling mudah dipahami. Rasulullah saw. Berkata “begitulah surat itu
diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah
dengan huruf yang mudah bagimu diantaranya”.[19]
|
BAB III
PENUTUP
Sebagai catatan penutup tentang sejarah penumpulan
atau kodifikasi al-Qur’an ini, poin penting sebagai jawaban atas permasalahan
(Rumusan Masalah) tersebu di atas adalah sebagai berikut:
1. Pengkodifikasian dan penulisan Alquran
pada masa Nabi saw terkumpul dalam hapalan dan ingatan, serta catatan yang
masih berserakan. Pada masa Abu Bakar, di samping terkumpul dalam hapalan, juga
dikumpulkan shahifah-shahifah yang terpisah-pisah. Kemudian pada masa
Umar, shahifah-shahifah tersebut ditulis dalam satu mushhaf. Selanjutnya,
pada masa ‘Utsman, semua hapalan sahabat dan Mushhaf yang diwariskan
oleh Umar, ditata ulang dan dicatat dalam satu dialek qira’ah yang
melahirkan suatu Mushhaf disebut dengan Mushhaf Imam.
2. Dapatlah
dipahami bahwa penulisan teks-teks Alquran pada masa Utsman merupakan masa
pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam berbagai kevariasiaan
dalam pembacaannya.
Demikianlah
Penyusunan makalah ini disusun, sebagai cacatan penutup bahwa pemakalah
menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan pada karya tulis ini, olehnya
itu pemakalah berharap agar ada kritik, saran atau masukan yang sifatnya
membangun untuk perbaikan makalah ini. Ucapan terima kasih kepada Dosen pembimbing mata kuliah Pendekatan dalam
Pengkajian Islam serta teman-teman
peserta seminar yang telah mengikuti seminar ini dengan serius, terakhir adalah
permohonan maaf jika sekiranya apa yang disajikan oleh pemakalah, terdapat
kekurangan dan kekeliruan didalamnya.
|
Daftar Pustaka
Adnan Amal,
Taufik, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an,
Cet. I; Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta. Tahun 2001
Al-Qathnhan, Syaikh Manna’. Pengantar
Studi Ilu Al-Qur’an, Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, Pebruari 2012.
Atang, Abdul
Hakim, Methodologi Study Islam, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT. Karya
Toha Putra; Semarang. 2002.
Ensiklopedia Untuk Anak-anak Muslim, Grasindo
Http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Allah, Wikipedia –
Ensiklopedia Bebas (Kitab Allah), 19 Mei 2012.
Http://Ealah.Blogspot.Com/2008/04/Upaya-Sahabat-Dalam-Pengumpulan-Mushaf.Html Upaya Sahabat Dalam Pengumpulan
Mushaf Pribadi Pra-Utsmani, oleh Nashif Ubadah; 19 Mei 2012.
Khalid, H.M. Rusdi, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet I; Alauddin Universiti Press,
Makassar 2011
Majid, Nurcholish,
Islam Agama Peradaban (Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam
Sejarah), Cet. II; Paramadina, Jakarta. 2000.
Manna’ al-Qaththan Mabahits
Fiy ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, t.th.).
|
0 komentar:
Post a Comment