Di dalam kehidupan praktis sehari-hari, manusia bergerak di dalam
dunia yang telah diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan
kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat. Penafsiran-penafsiran
itu seringkali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi-situasi
kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan, sehingga ia telah melupakan dunia apa
adanya, dunia kehidupan yang murni, tempat berpijaknya segala bentuk
penafsiran.
Dominasi paradigma positivisme selama bertahun-tahun terhadap dunia
keilmuwanl, tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu
sosial bahkan ilmu humanities, telah mengakibatkan krisis ilmu
pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivistis
terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu memang sesuai, melainkan
positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan manusia sebagai
makhluk historis.
Problematik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang menghilangkan
peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah mendorong munculnya
upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu
sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subjek kedalam proses keilmuwan itu
sendiri. Salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan fenomenologi
yang secara ringkas akan dibahas di bawah ini.
Dalam makalah ini, penulis memfokuskan
pembahasan pada hakekat filsafat fenomenologi itu sendiri, kemudian cara
kerja pendekatan fenomenologi, selanjutnya kontribusi fenomenologi
terhadap dunia ilmu pengetahuan, dan terakhir kritik terhadap
fenomenologi.
Pembahasan
A. Hakekat Fenomenologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology)
berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti
tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata,
ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum
dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang
nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi.
Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau
apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang
menampakkan diri pada kesadaran kita.
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh
Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat
dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia
kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi.
Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl.
Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H.
Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran
mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab
subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi
(fenomen).
Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya
Prinsip-Prinsip Pertama Metafisika (1786). Maksud Kant adalah untuk
menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori modalitas,
dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan representasi, yakni
fenomena indera-indera lahiriah.
Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya
sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan
dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang
sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan
pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat
bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada
pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan
penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena
merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran
manusia.
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis
deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk
kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis,
konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya
difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau
Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini
hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan
praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode,
fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga
kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan
melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana
fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita
harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya
untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran
murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran
kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl
memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada.
Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke
benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu
sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi.
Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua, ia
sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant,
terutama konsepnya tentang fenomena – noumena. Kant menggunakan kata
fenomena untuk menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran,
sedangkan noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar
kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal
fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu
realitas di luar yang kita kenal.
Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang
nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa
adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Berbeda dengan
Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas
itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas.
Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial atau eidos
(esensi) dari apa yang disebut fenomena dengan cara membiarkan fenomena
itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka (presupposition).
Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi berbeda
dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme,
baik secara ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran
ontologism, yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat
positivisme memandang realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang
berdiri sendiri, dan dapat dipelajari terpisah dari objek lain, serta
dapat dikontrol. Sebaliknya, filsafat fenomenologi memandang objek
sebagai kebulatan dalam konteks natural, sehingga menuntut pendekatan
yang holistik, bukan pendekatan partial.
Dalam tataran epistemologis, filsafat positivisme menuntut
perencanaan penilitian yang rinci, konkrit dan terukur dari semua
variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang spesifik.
Tata cara penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan penelitian
kuantitatif. Teori yang dibangun adalah teori nomothetik, yaitu
berdasarkan pada generalisasi atau dalil-dalil yang berlaku umum.
Sebaliknya, filsafat fenomenologi menuntut pemaknaan dibalik realitas,
sehingga perlu keterlibatan subjek dengan objek, dan subjek bertindak
sebagai instrumen untuk mengungkap makna dibalik suatu realitas menurut
pengakuan, pendapat, perasaan dan kemauan dari objeknya. Tatacara
penelitian seperti ini kemudian dikenal dengan penelitian kualitatif.
Teori yang dibangun adalah teori ideografik, yaitu upaya memberikan
deskripsi kultural, human atau individual secara khusus, artinya hanya
berlaku pada kasus yang diteliti.
Pada tataran axiologis, filsafat positivisme memandang kebenaran ilmu
itu terbatas pada kebenaran empiric sensual – logik dan bebas nilai.
Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui kebenaran ilmu secara lebih
luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual, kebenaran logik,
kebenaran etik dan kebenaran transcendental. Oleh karena itu, ilmu
pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value free), akan tetapi
bermuatan nilai (value bond), tergantung pada aliran etik yang
dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme,
vitalisme, ataukah theologisme atau pandangan filsafat yang lain.
B. Fenomenologi Sebagai Metode Ilmu
Fenomenologi
berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam
kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang
dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa
sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang
berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu
metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat
mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan serta
prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya: “Zu den
Sachen Selbst” (kembali kepada bendanya sendiri).
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan
manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda
pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan
diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang
fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”.
Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya
dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju
kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk
mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk
mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata
epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan”
atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga
berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang
diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan
benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran
adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat.
Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan.
Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan
status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.
Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu :
1.
Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka
macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan
sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.
2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam
menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari
realitas itu.
Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.
C. Kontribusi Fenomenologi Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan
Memperbincangkan
fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep
Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai
usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi
baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and
Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan”
(lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi)
ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir
positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta
sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam.
Akibatnya adalah terjadinya ‘matematisasi alam’ dimana alam dipahami
sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi
pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman
manusia ke formula-formula impersonal.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih
dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis
tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah
unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur
dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya
atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat
kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu
dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat
diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu
alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin
ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang
niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah
memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu
dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan
cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang
unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus
memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam
proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas
sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan
makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun
pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran)
individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek
intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan
itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana
banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.
Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari
fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol
yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang
membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak
terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus
mendapatkan dukungan metodologisnya.
D. Kritik Terhadap Fenomenologi
Sebagai
suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena
sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan
pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan
sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan
dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang
benar-benar objektif.
Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan
yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian
fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan
partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang
diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi,
sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama
ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang
kajian agama.
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak
luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan
pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan
sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan
sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu
pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi
bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang
menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan
implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan
objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya
mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya
status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai
akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.
Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut
terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan
objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan
atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku
pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu
tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang
dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.
Penutup
Dari pembahasan di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwa fenomenologi merupakan suatu metode
analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha memahami realitas
sebagaimana adanya dalam kemurniannya. Terlepas dari kelebihan dan
kekurangannya, fenomenologi telah memberikan kontribusi yang berharga
bagi dunia ilmu pengetahuan. Ia telah mengatasi krisis metodologi ilmu
pengetahuan, dengan mengembalikan peran subjek yang selama ini
dikesampingkan oleh paradigma positivistik – saintistik.
Fenomenologi berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis serta
pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi
manapun sebelumnya. Oleh karena itu, oleh kaum fenomenolog,
fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal
ini tampaknya sejalan dengan ‘prinsip’ ilmu pengetahuan, sebagaimana
dinyatakan J.B Connant, yang dikutip oleh Moh. Muslih, bahwa: “The
scientific way of thinking requires the habit of facing reality quite
unprejudiced by and any earlier conceptions. Accurate observation and
dependence upon experiments are guiding principles.”
DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral, 2001, Matinya Metafisika Barat, Jakarta: komunitas Bambu.
Bagus, Lorens, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia.
Connolly, Peter, (Ed.), 2002, Approaches to the Study of Religion,
Terj. Imam Khoiri, Aneka Pendekan Studi Agama, Yogyakarta: LkiS.
Delgaauw, Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Ghazali, Adeng Muchtar, 2005, Ilmu Studi Agama, Bandung: Pustaka Setia.
Kasiram, Moh., 2003, Strategi Penelitian Tesis Program Magister by Research, Malang: Program Pascasarjana UIIS Malang.
Muslih, Moh., 2005, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.
Sills, David L., (Ed.), 1968, International Encyclopedia of the Social Sciences, London: Crowell Collier & Macmillan, Inc.
Sutrisno, FX. Mudji , dan F. Budi Hardiman, (Eds.), 1992, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta: Kanisius.
0 komentar:
Post a Comment