REFIW JURNAL
A. Identitas jurnal (judul, penulis, penerbit, tahun terbit)
·
Judul
|
·
Aksi bela Islam, konservatisme dan fragmentasi otoritas keagamaan
·
Aksi bela islam akankah
mengubah lanskap Muslim Indonesia
·
Aksi bela islam populisme
konservatif dan kekuasaan oligarki
·
Ekonomi politik, aksi bela
Islam, ruang public dan dilema Negara hokum demokratis.
|
·
Penulis
|
·
Ahmad Najib Buharni
·
Muhammad Iqbal Ahnaf
·
Airlangga Pribadi kuswa
·
Risky Alif Alfian
·
Fiqh Verdian Alia Ali
|
·
Penerbit
|
·
|
·
Edisi tahun terbit
|
·
Terbit perdana juni 2003
(jurnal maarif) terbit dua kali setahun yaitu
(juni dan desember)
|
B. Ringkasan gagasan utama artikel
Diamini oleh hampir semua prganisasi baik secara individu maupun organisasi di luar tuntutan politis untuk segera menghukum Ahok yang diduga menistakan agama (penjarakan ahok) aksi damai ini biasa di lihat dari beberapa perspektif diantaranya adalah dari budaya popular. Artikel ini akan melihat aksi bela Islam 411 dan 212 dari perspektif budaya popular tidak sedikit pengamat dan akademisi yang cenderung melihat demonstrasi jutaan muslim ini sebagai puncak dari merabaknya konservatisme di Indonesia, bahkan sebagian besar lain menganggap bahwa pengaruh idiologi salafisme dan islamisme sudah sedemikian menyebar luas dinegara yang di kenal santun dan toleran. Ditengah maraknya islamisasi Indonesia dan juga penetrasi islam trans nasional, islam perkotaan mulai menjamur dan menampakan eksistensinya secara umum biasa ditengarai bahwa aksi bela islam hingga III lebih banyak diwarnai oleh kelompok muslim perkotaan. Sejak awal 1980 an islamisasi sudah mulai marak dan berkembang depolitasi islam sejak 1970 an telah mendorong muslim Indonesia untuk lebih mengedepankan kesalehan pribadi daripada aktif ditanah politik. Sejak itulah gugus muslim perkotaan yang jauh dari binger-bingar politik mulai terbentuk proses re-islamisasi. Mulai menyeru masuk Indonesia tahun 1980 an ketika Saudi Arabia melalui rabithah alam islam (RAI).
Euforia revormasi telah membuka
katuk-katuk demokratisasi. Ditanah politik menjamurnya partai islam pada pemilu
1999 hingga 2009 telah membuktikan kerinduan mendalam ummat islam akan politik.
Organisasi-organisasi social keagamaan
juga tumbuh dan berkembang seiring dengan keinginan ummat islam untuk dapat
terlibat dalam pembentukan kembali Negara bangsa Indonesia ditengah euforia
demokratisasi. Ditengah maraknya islamisasi ini, kontestasi dan dinamika islam
juga terus bergerak seiring dengan maraknya penggunaan internet dan media
social. Penulis meyakini bahwa gugus muslim perkotaan terus mengalami dinamika
yang diperebutkan oleh banyak kutub-kutub islam. Bahkan, ketaatan beragama dan
kesalehan social menjadi ikon yang diperebutkan dan bahkan dikomersialkan.
Globalisai dan modernisasi sebagai media transformasi social dan budaya telah
merubah perilaku keagamaan masyarakat perkotaan secara dramatis hingga
terguncangnya identitas keagamaan mereka.
Seiring dengan merebaknya dakwah Salafisme,
literalisme yang merupakan salah satu
karakter utamanya menjadi tantangan baru Islam Indonesia. Cara pandang
bahwa interpretasi agama yang monolitik inilah yang sedang "mewabah" dalam masyarakat Islam
Indonesia sebagaimana beberapa kasus radikalisme dan ekstremisme telah terjadi.
Dikuatirkan, wabah konservatisme dan
literalisme akan terus menggerogoti identitas Islam Indonesia karena sudah nyata pengaruhnya di beberapa lembaga agama negara
seperti Majelis Ulama Indonesia
(MUI). Namun demikian, pada
masyarakat modern seperti saat ini, perbedaan (diferensiasi) tetap merupakan tanda yang paling signifikan,8 termasuk dalam hal beragama. Dengan kata lain bahwa
identitas Muslim khususnya perkotaan tetap sangat beragam
Aksi
Damai 411 dan 212 memang merupakan sebuah fenomena yang
spektakuler. Sudah bisa dipastikan bahwa
peserta aksi yang mencapai jutaan orang
itu terdiri dari berbagai kelompok dan elemen masyarakat. Front Pembela Islam (FPI) yang semula sering
dijuluki oleh sebagian orang sebagai organisasi
'preman berjubah' karena perilaku anarkisnya sontak menjadi heroik dan dikagumi banyak pihak.10 Tidak
mengherankan bila Habieb Rizieq yang selama
ini dikenal sebagai tokoh agama "pinggiran" tiba-tiba menjadi tokoh agama sentral. Bahkan akhir-akhir ini
beberapa tokoh agama mengangkatnya sebagai ulama dan bahkan imam
besar umat Islam.11 Penulis melihat bahwa kasus ini bukan siapa yang mengusung isu (Habieb Rizieq), tapi lebih
pada isu yang diusungnya itu telah menyentuh dan bahkan menantang identitas
Muslim (penistaan agama).
Sejauh penulis amati dari aksi damai itu, ada
beberapa hal menarik untuk dilihat dan
dipelajari.
1.
tidak
sedikit peserta aksi damai itu yang tidak memahami
substansi permasalahan. Didorong oleh dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagaimana didakwakan oleh MUI
lewat "Pendapat dan Sikap Keagamaan
MUI" (bukan fatwa) serta Gerakan Nasional
Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) ribuan bahkan mungkin jutaan umat Islam berbondong-bondong datang ke Jakarta.
Memang bisa dipahami bahwa mayoritas peserta aksi tidak mempunyai kapasitas
keagamaan yang memadai untuk mengatakan
penyataan Ahok itu menistakan atau tidak. Partisipasi demikian banyak Muslim dalam aksi damai, menurut penulis,
lebih banyak dipengaruhi sentimen
agama. Agama itu masalah yang sangat prinsip dan bahkan sakral dalam
kehidupan seseorang
2.
walaupun
tidak sedikit organisasi sosial keagamaan yang terlibat dalam aksi, namun hanya beberapa organisasi Islam moderat yang secara
resmi mendukung aksi tersebut. Sejauh penulis menengarai, Muhammadiyah dan NU
tidak mendukung aksi tersebut secara resmi, bahkan cenderung tidak setuju dan
melarang anggotanya membawa atribut organisasi,12 walaupun banyak tokoh maupun anggota organisasi-organisasi
besar Islam tersebut yang terlibat dalam aksi. Dengan kata lain bahwa
pro-kontra seputar aksi damai 212 juga
cukup signifikan. Hal ini menyiratkan bahwa organisasi-organisasi Islam tersebut lebih meyakini mekanisme demokrasi yang
lain untuk menyampaikan aspirasi
mereka untuk tetap memproses kasus hukum Ahok. Berbeda dengan Muhammadiyah
dan NU, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sekaligus organisasi dakwah ini secara resmi mendukung Aksi Bela Islam jilid III
(212)
3.
Ketiga, aksi damai 411 dan
212 diikuti oleh beberapa ustaz seleb seperti Abdullah
Gymnastiar, Yusuf Mansur, Subkhi Al-Bughury, dan Felix Siauw. Sebagai ustaz yang sedang popular di masyarakat
khususnya kelas menengah, mereka mempunyai potensi besar untuk
mempengaruhi massa khususnya untuk terlibat
dalam aksi damai jilid II dan III itu. Di lain pihak, secara umum Muslim Indonesia kelas menengah sangat dekat
dengan figur-figur ustaz seleb di atas.
Keterlibatan beberapa ustaz popular tersebut secara langsung merupakan magnet bagi Muslim menengah untuk datang dan
berpartisipasi di event yang sangat
fenomenal tersebut, sekaligus bergabung bersama ustaz tokoh figur mereka.
Selfie-selfie sesama peserta atau bersama dengan ustaz juga menegaskan fenomena
budaya popular dalam Aksi Bela Islam tersebut dilakukan secara santai dan penuh kegembiraan.
4.
Keempat,
tidak sedikit saksi dan reportase yang menengarai bahwa aksi damai 212 mirip sebagai festival milik umat Islam atau lebih tepat
disebut sebagai sebuah selebrasi. Di tengah
kekecewaan sebagian umat Islam terhadap politik yang dimainkan Presiden Jokowi yang cenderung ke kiri, umat
Islam mendapatkan momentumnya untuk
bersatu bersama mengekspresikan aspirasi mereka dalam bentuk aksi damai. Ini juga bisa dianggap sebagai sebuah
selebrasi kemenangan umat Islam.
C.
Kelebihan artikel
Artikel
ini sangat menarik dikaji untuk membangkitkan kesadaran ummat bahwa persatuan
adalah keniscayaan siapapun yang terlibat didalamnya pasti punya kesan dan
kenangan khusus. jika mengamati telaah kalangan seluler terhadap peristiwa aksi
bela islam baik 411, 412, dan 112, termasuk kegiatan-kegiatan pengiringnya,
kita akan mendapati setidaknya dua landasan, landasan pertama yaitu paradigm
structural fungsional seperti dalam tulisan Charle J Caplin dan Hew Wei Wang
paradigm ini berangkat dari pandangan ilmu social modern yang memandang
masyarakat dengan ideology tindakan politik dan tindakan sosialnya secara
ejensialis (tetap) yang memiliki fungsi-fungsi tertentu dalam struktur makro
(dalam konteks ini, Negara)
Landasan
yang kedua adalah paradigm posmarxis seperti terlihat dalam tulisan vedi R
paradigma ini berangkat dari pandangan ilmu social pasmodern yang menganggap
masyarakat sebagai kumpulan individu kontingen (bias ada bias tidak) sehingga
tidak memiliki esensi yang ajeg peristiwa kemasyarakatan dalam paradigm ini
adalah sebuah tindakan yang tidak bermakna tunggal lesensialais bahkan tidak
bermakna sama sekali ia dianggap tidak bermakna karena ada daya tertentu
mengitarinya sehingga menjadi sebuah populisme.
Globalisasi dan modernisasi sebagai media
tranformasi dan budaya secara global mengarahkan masyarakat modern untuk
beragama secara eletrik dan bahkan hyborid di tengah memudarnya ikatan-ikatan
islam tradisional pengaruh islam global dan transnasional semakin menguat
forum-forum majelis taklim sudah digantikan dengan group-group online di media
social perilaku ini tentunya membawa dampak negative bagi para majelis taklim
karena tidak lagi melakukan pertemuan langsung atau bersilaturahmi seacara
langsung karena telah ada yg namanya group online, namun disisi lain juga
membawa pengaruh positif yaitu para majelis taklim dapat mengirim pesan pesan
keagamaan lewat group atau social medianya saja tampa mengadakan pertemuan
langsung oleh para majelis, mungkin itu salah satu kelebihan yang dibahas dalam
artikel ini.
D.
Kekurangan dari artikel
Kekurangan
dari artikel tersebut menurut saya yaitu terlalu banyak mengandung kalimat atau
kata yg terlalu tinggi sehingga cukup sulit bagi sipembacanya untuk memahami
artikel tersebut, seperti salah satu contohnya yaitu, kata penerasi, tengarai,
binger-bingar, elektik, hyborid, dan adapula kalimat yg tidak ditemukan oleh
kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) yaitu kata (tengarai).
0 komentar:
Post a Comment